The End of The Thread - "The Farewell"

Start from the beginning
                                        

Berakhir, rupanya, suara Arlan Pratama yang berubah. Dia menolak bicara selama beberapa hari--ini kata Aesl--hanya karena aku salah mengenali suara. Itu sangat tiba-tiba dan memangnya siapa yang bisa menebak hal itu?

Ya, kuakui aku salah karena tidak menyadari benang merahku muncul, tapi masalahnya aku sudah terlalu terbiasa berbicara dengan Arlan Pratama, sampai-sampai tidak menyadari bahwa benang merah itu muncul.

Dan memang, waktu SMP sudah ada beberapa teman laki-laki sekelasku yang berganti suara. Terkadang, aku ... lupa bahwa Arlan Pratama akan mengalami hal itu, cepat atau lambat. Konyol sekali.

Keluarga Arlan Pratama punya kebiasaan yang agak aneh. Hanya memahami mereka sebentar saja, aku sudah dapat mengerti.

Pertama, mereka tidak menyimpan namor telepon keluarga mereka dalam kontak ponsel. Arlan Pratama bilang, ada alasan mengapa mereka melakukan itu. Katanya, dulu ponsel Kak Aetherd pernah dicuri, lalu seseorang membuat ancaman soal penculikan dari ponselnya. Setelah mendengarkan cerita itu, aku jadi ngeri sendiri.

Kedua, semua saudara Arlan Pratama punya nama publik. Arlan Pratama adalah nama publik Aerland. Nama publik Kak Aetherd adalah Ether Adikaputra. Dan nama publik Aeslyne adalah Iselyn Adelise. Katanya tidak apa-apa Aesl masih memakai nama yang agak kebarat-baratan, karena anak itu belum bisa menggunakan lensa.

Ketiga, aku tidak tahu bagaimana ceritanya, tetapi Aesl tahu nomor teleponku dan dia sering mengirim pesan kepadaku. Awalnya kukira Arlan Pratama yang memberikannya kepadanya, tapi masalahnya anak itu memintaku untuk merahasiakan ini dari kakaknya, membuat persepsiku hilang begitu saja. Mendadak aku curiga bahwa Aesl menghafal nomor teleponku secara cepat dari ponsel Arlan Pratama.

Kupikir dia ingin mempertanyakan soal pelajarannya di sekolah, tapi bukankah itu sangat tidak masuk akal? Dia punya kakak laki-laki yang sangat pintar. Jadi, tidak mungkin dia akan menanyakan soal pelajaran kepadaku.

"Ayo, siapa yang bisa jawab pertanyaan ini?" Guru Fisika mengetuk spidol di papan tulis, lalu melirik ke Arlan Pratama dan ke arahku bergantian. "Ayo, siapa yang mau mencoba?"

Arlan Pratama menoleh ke arahku, lalu menunjuk papan tulis dengan dagunya, seolah memintaku yang mencobanya.

Kulirik tangan kanannya yang sibuk memutar pena. Ada benang merah yang melingkari kelingkingnya. Ya, benar, dia memang berbicara kepadaku.

Aku menunjuk papan tulis kepadanya, memberi kode agar dia saja yang mencobanya. Ini masih soal yang dasar, kalau aku maju sekarang, aku tidak bisa lagi mencoba menjawab soal dengan tingkat yang lebih sulit. Jadi, kamu saja yang maju, Lan.

Ayo Len maju, itu yang kutangkap dari gestur mulutnya.

Kamu aja, balas gestur mulutku balik.

Pak guru berdeham, "Kalau begitu, Bapak yang pilih, ya. Alenna, ayo coba jawab soal di papan."

Aku akhirnya berdiri dan menatap Arlan Pratama sekilas dengan tatapan menyalahkan. Sementara itu, anak itu malah tersenyum tipis seolah dia tidak melakukan kesalahan apapun.

Hari itu, aku bertanya kepada Arlan Pratama. Apakah dia tahu tentang cerita benang merah atau tidak. Jika aku jadi Arlan Pratama, kurasa aku juga akan kebingungan sepertinya saat itu.

LFS 2 - Red String [END]Where stories live. Discover now