Muse

868 95 29
                                    

Kim Yohan adalah segala teka teki yang membingungkan.

Lee Hangyul adalah orang yang harus menjawab teka - teki itu.

Yohan yang misterius dan unik selalu berhasil membuatnya penasaran. Membuatnya berpikir hingga kepalanya mau pecah. Namun, Hangyul tak keberatan. Hadirnya laki - laki itu seperti membawa angin segar dalam hidupnya. Memacu jantungnya tak karuan setiap pandang mereka bertemu.

Ia masih ingat pertemuan pertama mereka. Hangyul saat itu sedang duduk di bangku taman, mengistirahatkan diri setelah pertunjukan dancenya yang pertama kali ia lakukan di universitas.

Seorang laki - laki berwajah tampan dan berkemeja putih bak pangeran tiba - tiba saja menghampiri. Sosok yang lebih tinggi itu membawa sebuah buku sketsa dan pensil. Setelah berdiam diri selama beberapa menit, ia menjulurkan tangannya pada Hangyul, mengajak berkenalan.

"Kim Yohan, fine art."

"Lee Hangyul, dance performance."

"Ya, aku tahu. Aku melihat pertunjukanmu tadi. Kau sangat memukau."

Dipuji oleh orang yang sangat memukau pula, Hangyul tak dapat menahan telinganya untuk berubah warna menjadi merah.

Pertemuan itu mengantarkan mereka pada sesi perbincangan yang lebih panjang dan mendalam. Seperti mengapa mereka memilih seni untuk menjadi dalam hidup mereka, dan bagaimana mereka bisa masuk ke universitas tempat mereka menimba ilmu.

Seiring berjalannya waktu, saat mereka sudah merasa lumayan dekat, Hangyul kerap kali datang ke apartemen milik Yohan jika diundang.

Yohan tidak tinggal di dorm. Alasannya, ia butuh ketenangan dalam mengerjakan karya seninya. Dinding ruangannya yang putih bak susu begitu kontras dengan lukisan dan patung yang menghiasinya. Di setiap karya itu, terdapat tanda tangan Yohan tertoreh padanya.

Sore itu, Yohan meminta Hangyul untuk menjadi model lukisannya. Katanya untuk tugas sederhana. Tapi tetap saja Hangyul menolak. Ia pikir, untuk apa Yohan melukis seseorang yang biasa saja. Ditambah, Yohan ingin melukisnya pada saat itu juga, saat ia hanya mengenakan hoodie abu - abu yang kebesaran dan saat wajahnya berkeringat habis memasak ramyun.

Yohan tetap membujuknya.

"Kau tahu kau tampan kan?"

"Aku? Tampan? Jangan bercanda. Yang tampan itu yang sepertimu."

"Jangan mengelak. Kau tampan. Aku suka sekali struktur wajahmu. Sangat menarik untuk dilukis."

Yohan tersenyum, lalu menatapnya dengan mata yang berkilau. Kalau sudah seperti itu, ia hanya bisa mengangguk, membiarkan Yohan menuntunnya ke sebuah kursi.

Ia duduk di kursi kaca minimalis yang telah diatur untuk berada di samping jendela. Yohan mengarahkan Hangyul supaya kepalanya menghadap arah luar, dan Hangyul menurutinya.

Hangyul bertanya - tanya mengapa hal - hal konvensional masih saja ia lakukan di era yang sudah modern. Padahal bisa saja ia meminta Hangyul untuk mengirimkannya foto.

"Aku lebih sering melukis alam. Karena itu aku terbiasa untuk melihat objek lukisku secara langsung." Jawabnya tenang sembari menggurat - gurat buku sketsanya.

Setelah setengah jam berakhir, disodorkannya buku sketsa itu pada Hangyul.

Terdapat beberapa fitur wajahnya yang ia tak ketahui sebelumnya. Matanya yang tertimpa cahaya begitu menyiratkan makna, seperti mencari sesuatu. Rahangnya tegas, namun lembut. Hidungnya berbentuk sempurna. Rambutnya yang acak dibuat Yohan terlihat enak untuk diusap.

Hangyul tak ingin berbesar hati. Ia masih menganggap Yohan memang orang yang terlalu baik. "Kau membuatku jadi terlalu tampan."

"Oh ya? kenapa kau bisa berpikir seperti itu? Asal kau tahu, aku orang yang sangat objektif." Yohan tertawa, menangkup pipi Hangyul dengan kedua tangannya. "Dan aku bisa menemukan keindahan dalam objek manapun. Sayang, kau tidak bisa melihatnya."

ENCHANT [Yohangyul]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon