6. Post Meridiem

52 0 0
                                    

"Terima kasih loh bim untuk malam ini, nanti gue ganti deh uangnya." ujar Tantri yang telah selesai menyantap hidangan penutup yang dia pesan tadi.

Malam sebelum Tantri pergi ke Surabaya, gue mengajaknya ke sebuah restoran Jepang ternama di kota. Restoran ini terkenal mewah dan harganya yang juga mahal. Namun itu nggak gue pikirkan sama sekali karena gue ingin jadi satu-satunya orang yang merayakan ulang tahunnya agar dia nggak bakalan lupa momen seperti ini.

"Nggak usah lah Tan, elo kayak apaan aja."

"Serius lah, ini kan mahal."

Ternyata Tantri pun menyadari kalau harga makanan di restoran Jepang ini memanglah mahal.

"Serius, anggap aja kita merayakan ulang tahun elo dan gue kasih oleh-oleh ke elo sebelum elo berangkat."

"Bisa aja elo Bim."

Tidak pernah bosan gue lihat senyuman Tantri ini, begitu manis dan cantik.

"Sini bim, mendekat, kita foto-foto ya."

Ajakkan Tantri mengajak gue berfoto membuat gue kikuk. Posisi kami yang berhadapan, di bilang Tantri kurang dekat dan gue pun harus menyesuaikan posisi. Setelah beberapa kali memotret ia nampak puas dan senyam-senyum sendiri. Gue sedikit berceloteh kepadanya,

"Share di grup dong."

"Iya ini mau kok, sekalian gue upload ke Instagram story juga."

"Jangan di Instagram, entar cowok elo marah."

Aku berkelakar seperti itu karena beberapa hari yang lalu sempat kulihat feed instagram Tantri. Nampak ada foto seorang cowok dan dirinya. 

"Cowok apa? gue nggak punya cowok kali." ujar Tantri ketus.

"Masa sih? Di feed elo itu loh Tan."

"Ih elo stalking gue ya? Sebegitu memperhatikannya."

Celaka, kelepasan ngomong gue.

"Enggak gitu juga kali Tan, kan gue mantau keadaan anak-anak termasuk elo." jawab gue mengelak.

"Tapi serius deh, cowok yang mana sih? Tunjukkin sini."

Tantri langsung mendekati handphonenya ke arah gue, dan menyuruh gue menunjukkan foto yang katanya cowoknya. Dalam feed instagram-nya sebagian besar dipenuhi oleh foto dirinya seorang diri, foto dengan beberapa orang yang sepertinya itu teman kantornya, foto ketika dia sedang umroh, dan yang terakhir foto dia dengan laki-laki itu.

"Oh ini si Dani, dia teman satu kuliah gue."

"Teman apa teman???"

"Teman Bim, sumpah deh. Kok elo jadi kepo sih?"

Dua kali sudah gue lakukan kesalahan. Nggak mau ia melihat gue sebagai stalker yang menyeramkan, gue kembali mengelak,

"Bukan gitu Tan, kan gue lihat di feed elo, foto cowoknya cuma dia aja. Makanya gue berani menyimpulkan seperti itu."

Tantri terlihat yakin dengan ucapan gue itu.

"Bercanda kali Bim, elo baper amat anaknya."

Gue emang baper Tan, memang. Tapi bukan saatnya menyatakan hal itu. Gue masih belum bisa menjadi cowok yang bisa diandalkan untuk elo. Ujar gue dalam hati.

***

Setibanya di rumah, gue lihat ruangan sudah gelap dan sepi, gue jalan ke kamar, ibu sudah tertidur pulas. Tidak mau menganggunya, gue langsung menutup pintu kamar dengan pelan dan menyalakan handphone di tengah ruangan tamu yang remang ini.

Kubuka instagram dan ternyata benar, ada story milik Tantri, gue lihat ia mengupload beberapa story, dari foto makanan shabu jepang dari angle atas, foto boomerang ketika ia memanggang yakiniku dan yang terakhir foto pudding yang ia pesan tadi dengan caption 

'Save the best for the last.'

Ternyata dia nggak mengupload foto berdua dengan gue tadi. Imajinasi gue jadi kemana-mana. Apakah memang ia nggak mau mengupload foto cowok selain Dani Fathier? Gue tahu namanya karena Tantri tag namanya ketika bersama cowok itu. Ketika gue ingin stalking lebih jauh soal Dani, ternyata profilenya di lock.  

Duh, kenapa gue jadi kayak orang gila gini sih? Pikiran gue kacau, apa-apa Tantri. Gebetan bukan, tapi tingkah gue kayak pacarnya aja. Tantri sendiri jelas sudah mapan, sudah mampu mencari penghasilan sendiri. Sedangkan gue? Masih berkutat pada semester empat yang menguras pikiran gue.

Sambil termenung, gue melihat foto keluarga yang terpasang jelas di ruang tamu.

"Malam ini gue habiskan setengah juta hanya untuk bersama Tantri. Bukan uang gue, melainkan uang ibu yang gue tabung." ujar gue berbicara sendiri.

Rasa baper membuat gue nggak bisa berpikir dengan jernih. Di umur ke-23 ini gue belum bisa membahagiakan ibu, bahkan untuk menggantikan peran ayah. Yang ada gue malah memikirkan cinta yang terpendam sejak dulu ini.

"Kalau gue nyatakan cinta ke Tantri, gue bisa apa? Umur segini nggak pantas untuk pacar-pacaran. Umur segini harusnya bersikap dewasa agar hubungan bisa di bawa ke jenjang yang lebih serius. Bodohnya gue."

Gue terus menyalahkan diri sendiri, gue merasa menyesal kenapa malam ini menghabiskan waktu bersama Tantri, bukan dengan ibu yang sama sekali nggak pernah gue ajak traktir makan hingga setengah juta ini. Padahal uangnya juga berasal dari beliau. Yang ada gue berfoya-foya tidak jelas karena perasaan terpendam ini.

"Jika ayah disini, semua akan berbeda. Diumur segini gue bisa saja menggantikan peran ayah menjadi pemimpin pabrik."

Tak lama, air mata menetes jatuh.

"Tidak.. Tidak, itu salah. Bicara apa gue ini, bodoh. Ini semua takdir Tuhan, Tuhanlah yang merencanakan semua ini. Bicara seperti itu sama saja aku menghina Tuhan karena menyalahkan takdir yang Tuhan buat." ujar gue sambil menggeleng-gelengkan kepala dan menyeka air mata yang jatuh.

"Wasiat ayah terakhir yang harus gue fokuskan. Kuliah yang benar, untuk masa depan yang lebih baik. Sudah seharusnya gue giat belajar terlebih dulu, baru gue pikirkan masalah percintaan. Gue nggak mau terus-menerus membebani ibu yang bekerja seorang diri."

***

Percaya atau tidak, mulai dari malam itu gue mencoba melupakan Tantri, namun entah mengapa sulit rasanya. Ketika di jam kosong dan gue membuka Instagram, pasti story Tantri ada di urutan awal dan itu selalu mengingatkan perasaan gue kepadanya. 

Gue berharap suatu saat gue bisa memiliki Tantri seutuhnya dengan cara gue sendiri. Tidak membebani siapa-siapa, terutama Ibu. 

Semoga elo tahu kalau gue selalu mencintaimu Tan! Tunggu gue sukses ya!


25Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang