4. Saat Terakhir

54 0 0
                                    

"Kamu anak ayah satu-satunya, ayah harap kamu bisa jaga ibumu dengan baik."

Gue masih menangis melihat ayah yang masih terbaring lemah.

"Satu lagi, ayah ingin kamu kuliah nak. Ayah dan ibu masih punya tabungan untuk pendidikanmu dan ayah harap pendidikanmu itu mampu membantumu meraih masa depan."

Itulah ucapan terakhir ayah yang masih gue ingat. Kali ini beliau telah beristirahat selama-lamanya. Gue masih termenung seakan tidak percaya kalau ayah sudah meninggal. Gue lihat ibu yang juga masih terus menangis sambil ditenangkan oleh orang-orang dari keluarga ayah. Sedangkan aku, ditenangkan oleh Doni dan Pak Ruslan yang selalu ada karena beliau adalah sahabat ayah.

"Yang sabar Bim, ini jalan terbaik yang Tuhan berikan." ucap Doni, satu-satunya teman gue yang selalu berada di sini.

Gue nggak membalas ucapan Doni itu dan masih termenung melihat ayah meninggalkan gue dan ibu. Gue masih teringat ketika almarhum ayah mengatakan,

"Kelak, ketika ayah sudah tiada. Kamulah penerus bisnis ini nak, kamu harus lihat dan belajar dengan cepat."

Almarhum mengatakan itu tepat ketika gue masuk kantor untuk pertama kalinya sambil diajak berkeliling pabrik .

Namun kali ini benar – benar berbeda. Tidak ada bisnis-bisnis lagi, bisnis ayah sudah gulung tikar. Harta keluarga kami habis sebagian disebabkan harus melunasi hutang disana-sini. Hanya ibu satu-satunya yang masih bekerja di butiknya. 

Bukan seperti ini impian gue, impian gue untuk menjadi sukses di usia 25 tahun hancur seketika. Nggak ada rencana lain yang gue siapkan, yang ada gue bakalan membebani ibu gue sendiri.

***

"Bu, Bimo mau bicara bu."

"Ada apa Bim?" tanya ibu yang masih duduk lemas di ruang tamu.

"Ayah kemarin berpesan kepada Bimo bu, mengenai.."

"Kuliah?" tanya ibu memotong ucapan gue.

"Iya bu, Bimo akan melaksanakan wasiat ayah itu bu, itupun jika keuangan kita masih baik bu."

"Kamu nggak usah pikirkan masalah itu nak, ayah menitipkan tabungan untuk itu. Yang jelas, kamu harus kuliah dengan rajin dan bersungguh-sungguh."

Gue langsung memeluk ibu dengan erat dan kami berdua menangis bersama. Hanya inilah satu-satunya harapan yang bisa gue gantungkan. Gue berjanji gue bakal kuliah dengan benar dan bersungguh-sungguh hingga suatu saat gue akan membantu ibu dan memperlihatkan kepada almarhum ayah di sana kalau anaknya mampu sukses dengan cara lain..


25Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang