Have a nice day!
Happy reading!• • •
Sudah seminggu Ve bekerja. Ia memutuskan untuk pulang sedikit terlambat, daripada tinggal di rumah Saka. Walaupun jelas, Ve akan sangat merepotkan Sera lagi. Tapi apa boleh buat. Ve tidak bisa pindah begitu saja.
Selama seminggu itu juga, hampir tidak pernah Ve bertatap muka dengan Saka. Saka selalu pulang larut. Dan Ve selalu ketiduran di ruang tamu. Ve baru akan pulang setelah Saka makan. Dia tidak tahu kapan Saka duduk di meja makan lalu menghabiskan masakannya. Tapi yang jelas, setiap Ve terbangun, Saka sudah tidak ada di sana.
Hari ini Ve berniat pulang lebih awal. Karena Sera ada urusan dan tidak bisa menjaga Disa. Ve belum sempat menyiapkan makanan. Ia membereskan tas dan beranjak pergi. Tapi baru sampai di depan pintu, pintu sudah dibuka dari luar.
"Mau ke mana?"
Ve terkejut. Ia tidak mengira Saka pulang secepat ini. "Saya izin pulang," ujarnya lirih.
"Masih jam tujuh?"
Ve mengamati Saka sekilas. Penampilannya sedikit acak-acakan. Dasinya sangat longgar. Kancing atas kemejanya juga terlepas. "Saya ada urusan mendadak."
Saka terdiam cukup lama. "Buatkan aku makanan terlebih dahulu."
Ve tentu tidak bisa menolak. Mau tidak mau Ve kembali ke dapur. Sedangkan Saka langsung menuju lantai dua, kamarnya.
Ve masih berkutat dengan masakannya ketika tanpa ia sadari Saka mengamati dari meja makan. Tubuh yang terbilang tidak terlalu tinggi, membuat Ve seperti anak remaja. Rambutnya juga tidak pernah terurai. Selalu diikat asal-asalan. Tapi terlepas dari semua itu, Ve sangat manis. Jika saja ia sedikit bersolek.
"Berapa umurmu?"
Ve menoleh dan kembali terkejut. Entah perasaannya saja atau memang Saka sangat sering membuatnya terkejut. Dan sudah berapa lama ia di sana?
"Dua puluh dua."
"Anak muda sepertimu, kenapa tidak menghabiskan waktu untuk bersenang-senang? Bukannya berkerja seperti ini."
Ve membawa piring dan segelas air dingin ke hadapan Saka. "Saya tidak sempat," jawabnya sambil sedikit tersenyum.
Saka mulai menyantap makanannya. Sejak pertama Saka merasakan masakan Ve, ia cukup terpukau. Jika saja Ve mau mendalaminya, Saka sangat yakin, Ve bisa jadi chef hebat berbintang Michelin. Saka tidak berbohong.
"Saka, boleh saya pulang sekarang?" tanyanya ragu di sela kegiatan Saka.
"Tentu." Saka menoleh. "Setelah aku selesai. Karena siapa yang akan membereskan piring-piring ini kalau bukan kamu."
Sungguh, Ve harus sedikit bersabar. Tentu saja nanti ia akan meminta maaf kepada Sera karena terlambat.
"Tidak makan?" Saka membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka terdiam.
"Nanti saja, saya belum lapar." Kemudian tidak ada percakapan lagi sampai Ve pulang.
• • •
Bising musik dengan volume keras menggema di Quinary Bar. Kumpulan manusia berpesta ria di setiap sudut. Hampir tidak ada tempat yang cukup untuk sedikit menghindar dari kerumunan. Mereka melakukan apapun yang membuat senang. Dan tentu saja, ajakan Rein ke Quinary Bar bukan untuk sekedar menghabiskan malam dengan minum kopi bersama sepiring roti.
Rein memang meminta Saka datang ke sana. Alasannya karena masalah di kantor akhir-akhir ini sangat melelahkan. Tidak salah jika sebentar saja mengambil waktu untuk melepas penat sebelum kembali ke rutinitas. Bukan Rein namanya bila ia gagal membujuk Saka dengan kata-kata manisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
no one ever changes in the end
Romance|| 'cause you are healer, i still need a pain killer Kepingan kecil yang lepas mulai terjalin. Menegaskan jika mereka hanya sekedar lakon dalam semesta yang serba bercanda. Tidak ada yang tahu walau memaksa untuk tahu. Pun percuma dengan memutar bal...