AU(30)- Cara Baru

234 16 0
                                    

Happy reading temen-temen 💕

Untuk sekarang, aku masih terlelap dalam kenangan. Tapi, untuk besok aku ingin merangkai kenangan menjadi bingkai dalam kisah kita.
—About Us—

Suasana sekolah sekarang tengah ramai dikarenakan adanya pengumuman mengenai ujian nasional. Alishka dan Chinta juga ikut menunggu pengumuman di depan ruang guru bersama siswa-siswa yang lain. Beberapa kali mata Alishka melirik seseorang yang mengawasi mereka dari kejauhan. Bahkan di tengah keramaian itu, Alishka masih bisa merasakan bahwa orang itu menatap mereka.

Seketika keadaan semakin ricuh saat melihat anggota OSIS melewati mereka dengan santai dan sedikit angkuh. Terutama Zean, cowok itu sama sekali tidak berubah, dengan ekspresi flat serta senyum yang tak pernah terlihat. Di belakangnya terdapat Rama dan beberapa pengurus lainnya.

Bahu Alishka tiba-tiba tersenggol pelan oleh seseorang di sebelahnya, namun mampu membuat badannya tergeser.

"Lo punya hubungan apa sama Rama?" tanya gadis berbehel itu pada Alishka.

"Enggak ada," jawab Alishka singkat dan memilih berpindah tempat.

"Eh, lo tunggu dulu! Gue belum selesai ngomong," lanjut gadis tadi membuat langkah Alishka terhenti sejenak.

"Kenapa?" Alishka enggan untuk meladeni lawan bicaranya, apalagi di tengah keramaian seperti ini.

"Gue denger-denger si Rama suka sama lo. Apa sih yang istimewa dari lo? Penyakitan, lusuh, nggak tau malu lagi. Parasit emang, lo ngasih pelet apa sama dia?"

Telinga Alishka yang tadinya baik-baik saja dalam sekejab berubah menjadi panas karena mendengar kalimat terakhir dari gadis di depannya. Ia menatap gadis itu dalam, masih enggan untuk menjawab ataupun membalasnya.

Gadis itu seakan tak takut, ia menatap balik pada manik Alishka yang sudah ingin keluar dari matanya. Beberapa pasang mata juga ikut menatap keduanya, ada yang merasa terganggu bahkan sempat menontonnya sampai puas.

"Lo bisu atau tuli? Gue nanya, lo ngasih pelet apa sama Rama?"

Alishka masih yakin dirinya mampu menahan diri. Sedangkan gadis bername tag Parcell itu belum terlalu paham dengan raut wajah Alishka yang sudah menahan amarah sedari tadi.

"Lish, ada apa sih?" tanya Chinta yang baru saja menemukan Alishka di keramaian.

"Lo Parcell, kan? Anak pindahan gara-gara dikeluarin itu, kan?"

Raut wajah Parcell yang tadinya angkuh seketika berubah menjadi pucat.

"Lo tau dari mana?"

Alishka mengerutkan keningnya karena heran dengan perubahan dari gadis yang tak ia kenali itu. Chinta terkekeh pelan, lalu tersenyum miring.

"Lo kira gue nggak tau apa? Bagi seorang Chinta buat nyari tau tentang anak baru soal pindahannya itu mudah buat gue."

Parcell menggertakkan giginya dan berbalik badan. Gadis berambut panjang itu menerobos keramaian dan menghilang di tengah siswa lainnya.

Alishka menatap Chinta bingung, namun ia hanya diam dan memilih keluar dari gerombolan para siswa yang lain. Ia duduk di depan kelas sebelas dan meluruskan kaki. Otaknya berputar kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu. Senyumnya merekah ketika mengingat siapa yang pertama kali dipikirkannya.

Matanya melihat ke arah kerumunan siswa-siswa, di mana tempat ia berdiri tadi. Juga, mendengarkan ocehan dari gadis bernama Parcell. Nama yang aneh, itu yang dipikirkan oleh Alishka. Lambaian di seberang sana membuat Alishka menyipitkan matanya untuk bisa fokus pada objek itu. Ternyata Chinta yang memegang selembar kertas sembari tersenyum lebar.

Alishka berdiri dan hendak menghampiri Chinta. Ketika sampai di hadapan sahabatnya, ia langsung membaca apa isi dari kertas berwarna putih itu.

"Ruang 3? Kamu ruang berapa, Ta?"

"Ruang 7. Kita nggak seruangan dong, dapet sore lagi," jawab Chinta dengan raut kesal yang dibuat-buat.

"Lish, untuk Parcell tadi, lo nggak usah terlalu mikirin dia. Gue juga tau dari anak kelas dia masalah itu, padahal gue nggak peduli," lanjut Chinta terkikik dengan ucapannya.

"Iya. Ini udah selesai?" Chinta mengangguk pelan.

Alishka menarik pergelangan tangan Chinta menuju kelas karena sudah tak ingin mendengar ucapan yang memojokkan dirinya. Bukan, bukan dirinya takut, tapi hanya menghargai mulutnya yang masih terlalu penting bila menjawab ucapan dari orang yang merendahkannya.

"Lishka." Panggilan itu membuat Alishka menoleh.

"Dokter Fajar?"

Lelaki itu tersenyum hangat, Alishka dapat merasakan kehangatan itu.

"Lama tidak bertemu."

****

Ternyata kertas yang baru saja dibagikan tadi tidak berpengaruh pada Ryan. Cowok itu mengisap rokok dan menciptakan asap di sekelilingnya. Matanya menelusuri lorong kelas yang sekarang sudah mulai sepi. Mungkin bila tidak menunggu Karrel, ia sudah datang ke rumah sedari satu jam lalu. Bukan karena ia ingin pulang, tapi hari ini benar-benar mendorongnya untuk memasuki ruangan yang sesak itu.

Dua batang rokok sudah ia habiskan dan bertepatan dengan kedatangan Karrel dari tembok belakang. Temannya itu terkekeh ketika melihat bungkus rokok di sebelah Ryan. Karrel membuka jaketnya dan memasukkannya ke dalam tas yang sudah dipastikan tidak ada isi.

"Lo abis ngapain aja di belakang?" tanya Ryan tak mau bertele-tele dengan temannya itu.

Karrel menoleh dan menunjuk salah seorang gadis yang tengah mengunci pintu kelas.

"Tadi gue ngajak Lyra ketemu untuk ngasih tau perasaan gue, tapi tetap aja dia nolak," jawab Karrel, lalu terkekeh pelan.

Ryan mendelik tajam pada Karrel dan memutar bola matanya malas. Tanpa sepatah kata, Ryan berdiri. Ia beranjak dari tempatnya duduk menuju parkiran. Karrel mengikutinya dari belakang dan duduk di atas jok motornya. Cowok itu seperti kehilangan rasa sesaat, ia hanya diam tanpa berniat untuk mengeluarkan suara.

Saat ingin menjalankan kuda besinya, Ryan masih menunggu Karrel. Ia membuka kaca helm dan membunyikan klakson hingga membuat Karrel terkejut bukan main.

"Lo gila apa? Kalau gue kena serangan jantung gimana? Bego lo nggak kehitung sumpah!" ucap Karrel setelah ia meloncat dari motornya.

"Lo yang bego! Gue mau pulang nih, lo mau interview jadi satpam sekolah?"

Karrel tergagap. Ia melirik jam yang ada  di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul lima sore.

"Kafe biasa yok. Bentar doang, gue traktir deh," ucap Karrel menghidupkan mesin motornya.

Ryan hanya mengangguk singkat dan keluar dari area sekolah setelah motor Karrel berjalan lebih dulu. Satu menit setelah dua motor besar itu meninggalkan area sekolah, langkah seorang gadis keluar dari belakang  pos satpam dengan perlahan. Ia menutup mulutnya rapat-rapat dan tak ingin membohongi dirinya sendiri.

"Ryan, entah kenapa hati gue masih belum bisa lupain tentang tawuran itu. Bukan masalah gue, tapi kita," gumam Alishka pelan.

"Ayo," ucap seseorang yang sedari tadi menunggunya.

Alishka mengernyit. Kepalanya terasa berat sekarang. Semua kejadian yang ia lewati terasa hanya mimpi. Perlahan bayangan sepuluh tahuh lalu membuatnya seolah ingin memeluk seseorang yang ada di hadapannya sekarang.

"Kita bicarakan di rumah," ucapnya lagi.

"Apa benar Dokter Kakak aku?"

Tbc ❤
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ❤

ABOUT US ||  COMPLETEDWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu