"Tapi gak salah juga dong kalau Putri nanya kenapa dia malah ngilang begini?" Darren menimpali.

"Gak salah Ren, tapi ntar takutnya si Putri kalau salah ngomong malah jadi emosi dua-duanya. Terus berujung lost contact gimana? Kita semua gak tau dia sekarang ada dimana, even his close friends." Ujar Wildan dengan wajah serius.

"Lo ada tanya temennya?" Tanya Satya

"Ada, mereka bilang gak tau juga." Jawab Wildan.

Gue akhirnya menutup laptop gue dan memejamnya mata sejenak.

Pusing.

Revisian banyak, tugas bantuin adek tingkat di organisasi juga gak kelar-kelar, ditambah lagi ini Jeje kenapa pakai ilang-ilangan segala. Tau ga sih rasanya gue sampai gak bisa nangis. Gak tau gue harus mikirin yang mana dulu. Karena gue jadi gak fokus akibat kebanyakan beban.

Belum selesai lamunan gue, tiba-tiba udah ada panggilan masuk dari anak organisasi gue. Oke gue lupa hari ini mereka mau rapat internal.

"Gue cabut dulu ya? Udah dicariin orang nih"

"Gausah ngebut ya."

Iya gue bawa motor sendiri kok.

***

"Kak gimana ya? Harus re-planing kita ini?"

"Waktunya cuma tiga hari."

Gue pengen mengumpat.

Kenapasih? Semuanya jadi beribet begini?

Gue menarik nafas kasar, "Yaudah, mau gimana lagi?"

Tipikal jawaban pasrah.

"Kita ga bisa ngandelin orang lain, kalau adanya cuma segini mai gak mau kita harus kerjain dengan orang segini juga."

"Kak tapi kita masih perlu bantuan kakak. Gimana?"

"Iya." Sekali lagi jawaban pasrah keluar dari mulut gue.

Mereka memberikan tatapan penuh harap dan memohon, sementara gue makin pusing dan badan gue jadi makin lemes.

"Mulai malem ini gue re-share ulang jobdesk kalian ya? Kak ntar aku email ya?" Si ketua mengambil alih rapat kembali.

Gue belajar banyak dari sebuah organisasi. Mungkin luarnya keliatan kuat, tapi bukan berarti dalemnya kuat juga. Disana bisa jadi ada banyak orang-orang sok kuat yang mencoba bertahan sekuat tenaga. Dan gue lihat itu di diri adek tingkat gue ini. Dia cewek, seorang ketua organisasi fakultas yang bergerak dibidang buletin fakultas.

Gak banyak orang yang tertarik dalam organisasi ini, karena organisasi macam debat, Moot Court lebih digandrungi oleh mahasiswa fakultas kami.

Ya, gue tau setelah ini gue bakalan pusing dan capek kondisi saat ini.

Sialnya, hal yang paling gue takutin dateng.

Tipes gue kambuh.

Salah gue juga, gue terlalu capek dan banyak pikiran.

Alhasil gue kembali masuk RS. Gak kali ini bukan Jeje yang nemenin. Ayah gue ada dideket gue selama 24 penuh. Kalian inget kan kalo gue gak bisa ditinggal sama Ayah gue kalau di RS? Hal itu masih berlaku sampai saat ini.

Mungkin kemarin ada Jeje dideket gue, tapi dia kali ini enggak ada disini. Hari pertama di RS gue sama sekali gak pegang Hp sama sekali, di hari ke dua ternyata banyak yang nyariin gue. Termasuk Jeje.

Gue gak cerita ke Jeje kalau gue lagi sakit. Gue sengaja ngebiarin dia buat pergi entah kemana gue gak tau. Gue udah terlalu capek juga buat mikirin dia. Maaf ya jahat, tapi gue juga harus ngurusin hidup gue yang akhir-akhir ini mulai berantakan juga.

Dan selama 2 hari, gue berusaha buat gak mikirin Jaerend. Gue mau sembuh dulu. Kalau gue terlalu ver thinking nanti malah ga sembuh-sembuh. Apalagi salah satu topik penambah pikiran gue adalah Jeje.

Dia yang pergi entah kemana, dia yang selalu bilang baik-baik aja padahal dia lagi enggak baik-baik aja, dia yang menyimpan semuanya sendiri dan memilih menyendiri dengan masalahnya, dia yang mungkin sedang berjuang sendiri.

Dia, Jaerend Viscaeno.

'Ceklek'

Suara knop pintu terbuka.

Ayah langsung menoleh ke arah pintu yang gue pikir mbak Tini. Ternyata itu Jaerend. Dia dateng dengan ngebawa keranjang berisi buah.

"Sore, Om." Sapanya

Gue tercengang. Gimana bisa?

Setelah berbicara sedikit tiba-tiba Ayah gue minta Jeje buat nemenin gue. Ayah mau ambil laptop sebentar di kantor biar bisa sambil kerja sembari nungguin gue. Awalnya gue gak mau ditinggal, tapi akhirnya gue luluh juga.

Dan sekarang gue ada di ruang ini berdua sama Jaerend. Gue masih enggan buat bersuara.

"Udah dua hari, tapi gak ngabarin aku Put?" Tanyanya dengan nada kecewa.

"Aku gakpapa, selama ada Ayah." Jawabku santai, tepat nya berpura-pura santai.

Jaerend kelihatan lesu, senyumnya terasa penuh beban. Seakan nyalur ke gue, gue jadi ngerasa sedih dan khawatir sama dia. Beberapa kali dia terlihat menundukkan kepala sebelum mengeluarkan suara. Oke, I know dia lagi tertekan.

"Tapi kamu gak ngabarin aku. Bahkan aku harus tau dari Ayah kamu sendiri."

"Jeje aku enggak apa-apa," bantah gue masih dengan nada yang berusaha lembut.

"Kamu sakit! Dan aku gak tau?!"

Kalian gak salah, Jaerend marah. Suaranya meninggi, pancaran sinar matanya kelihatan tajam. Nyali gue seketika menciut, kalau udah mode begini Jaerend beneran nakutin.

Gue terdiam beberapa saat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk membalasnya.

"Harus aku minta maaf ke kamu?" tanya gue dengan nada yang datar, menatapnya dengan padangan khawatir.

Matanya meneduh, bahunya melemas.

"Sorry, aku kebawa emosi."

Dan detik itu juga Jeje kembali menunduk. Hal kecil, tapi dari situ gue tau dia lagi bener-bener punya masalah. Mungkin dia sedih, lelah, kecewa, dan marah.

"Jeje." Panggil gue pelan.

Dia mendongak dan menatapku lurus.

"Aku gakpapa. Aku bakalan baik-baik aja. Bentar lagi juga sembuh."

"Maaf ya tadi ngebentak kamu."

Kami terdiam sejenak, saling berbalas tatapan tanpa suara selama beberapa detik.

"Jeje semangat. Sampai kamu mau berbagi cerita sama aku, tolong ya kamu harus baik-baik aja. Kita gak bisa maksain seseorang yang enggak mau berbagi ceritanya buat cerita, jadi aku mau nunggu aja. But it's okay kalau mau nyimpen sendiri, aku tau cowok kadang gak suka cerita masalahnya karena katanya itu soal harga diri. Aku enggak mempermasalahkan itu." Tangan gue meraih tangannya menggenggamnya erat mencoba menyalurkan kekuatan buat dia.

"Yang..."

US - Untold Story (Spin Off "45 Days Of KKN") Where stories live. Discover now