Aku berjalan bersama orang-orang dengan kemeja abu-abu sepia. Dan aku membutuhkan lokomotif untuk wajahku. Aku menyamar sebagai gelandangan yang tersesat. Aku tidak bisa berbahasa latin, aku berbicara dengan tanah di bawah kakiku. Aku menulis novel dan tidak selesai-selesai, akhirnya aku ingin jalan-jalan dan aku menemukan jejak-jejak di Hollywood dan sepatu-sepatu jelek yang aku temukan di rumput-rumput yang sudah banyak diinjak.
Aku berteman dengan anjing milik nyonya-nyonya di sebuah apartemen. Kami membuang sepatu kuno berwarna cokelat seperti terompah di tempat sampah minimarket. Aku sendirian saja sekarang. Biar ibu dan ayahku tidak mencariku. Mereka sibuk bercinta di kamar mandi. Aku selalu pipis di jelaga-jelaga tempat aku bakar api. Itu adalah cara kuno Amerika yang kutahu dari salah satu kawanku.
Aku merencanakan beberapa opsi bunuh diri, memotong telinga seperti Van Gogh, atau diam di rumah dan mati seperti J. D. Salinger. Aku membutuhkan lokomotif, tangan ibu yang penuh debu, menggamit tanganku dan membawaku ke sudut-sudut stasiun. Biar adikku tidak mencariku, ia selalu tertidur di kamar nenekku. Aku tidak punya satu dolar pun, aku membakarnya. Aku tidak butuh uang. Aku hanya butuh rokok, pipis, dan alkohol.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ayahmu Tumbuh di Halaman Belakang
Poetryayahmu tumbuh di halaman belakang. ia belajar memanen ubi, memelihara anjingnya yang tinggal satu dan membuat telur paskah palsu. ia membenci anaknya yang tinggal satu. setiap sore kepalanya menjadi sekolah yang tidak belajar. ia tumbuh harum menjad...