BAB 4

2.9K 119 0
                                    



"Bukan itu maksud aku, kamu kan dari bandara, enggak mungkin tiba-tiba mobil ini, langsung nongol di hadapan kamu. Jangan bilang ini mobil curian kamu di bandara,"

"Kalau aku bilang iya, nanti kamu malah jantungan," ucap Liam. Liam memandang Dian dengan intens.

Dian tahu dengan tatapan tajam itu, menyuruhnya masuk,

"Tapi jawab dulu pertanyaan aku," Dian memegang sisi pintu mobil, ia menahan diri agar tidak masuk, bersama singa ini. Jika sudah masuk ke dalam mobil, ia pastikan tidak bisa keluar lagi.

"Jawaban yang mana,"

"Jawaban yang tadi,"

Liam menarik nafas, ia menepis rambut Dian yang menjuntai di sebagian wajahnya. Wanitanya ini meminta penjelasan dari mana ia mendapatkan mobil ini.

"Dengar sayang, ini mobilnya teman aku. Tadi dia jemput aku di bandara. Setelah itu aku pinjam mobilnya, buat ketemu kamu,"

"Memangnya temannya kamu percaya gitu aja," ucap Dian.

Alis Liam terangkat satu, "percayalah, aku kan sahabatnya,"

"Aku enggak yakin, bahwa teman kamu sampe berani, minjamin mobil ini secara cuma-cuma," dengus Dian.

"Kenapa mesti enggak yakin,"

"Ya, mana ada yang percaya, kamu aja sudah mirip bos nya para berandal,"

"Kok enggak sopan ngomongnya,"

"Ya emang seperti itu kenyataanya,"

"Sekali lagi kamu ngomong kayak gitu. Aku enggak segan-segan cium kamu loh sayang,"

Dian lalu bergegas masuk ke dalam mobil, dan duduk mengikuti perintah. Gila aja, si babon itu mau cium dirinya di tepi jalan seperti ini.

***

Dian menyandarkan punggungnya di kursi, ia melirik Liam. Laki-laki itu masih fokus dengan setirnya. Jantungnya maraton, ketika mata elang itu meliriknya. Oke Fik's saat ini situasi begitu mencekam. Tidak ada musik yang memecahkan kesunyian, hanya deru nafas terdengar, di sepanjang perjalan. Perasaan gelisah masih menyelimuti hatinya.

"Kenapa kamu selalu ini, mengabaikan panggilan aku, hemm," gumam Liam, ia akan berbicara cukup serius dengan kekasihnya ini. Ia hanya ingin tahu alasannya.

Dian tidak berani menjawab pertanyaan Liam, ia mengalihkan tatapannya ke arah jendela. Ia tidak tahu akan menjawab apa. Inginnya sih bilang sejujur-jujurnya bahwa dirinya memang tidak pernah mau berhubungan lagi dengan laki-laki ini. Tapi tidak ada keberanian, untuk ia ungkapkan.

"Kenapa?" Tanya Liam sekali lagi.

Entah kenapa pertanyaan itu membuat keringat dinginnnya keluar. Sungguh inilah yang ia takutkan. Dian meremas buku-buku tangannya hingga memutih. Liam memandang Dian, wanita cantik itu sudah sepucat pasi. Sama sekali enggan menjawab pertanyaannya. "Yasudah, kalau enggak jawab, enggak apa-apa,"

"Kamu sudah makan?" Tanya Liam, ia mengalihkan pertanyaanya.

"Belum," ucap Dian pelan.

"Ya, sudah kita makan dulu," Liam mengarahkan mobilnya di salah satu restoran yang berada di tepi jalan.

***

Beberapa menit kemudian, Liam dan Dian sudah duduk di salah satu kursi di dekat pojok ruangan. Ruangan restoran ini begitu nyaman dan sangat tenang. Ruangan restoran ini terasa hangat karena di lapisi kayu mahoni. Restoran ini sangat transparan, pengunjung bisa melihat para chef yang sedang memasak di meja counter. Ia suka dengan konsep restoran seperti ini. Liam memang tidak salah memilihnya.

TERJERAT CINTA TUAN POSESIF (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang