dua.

2.7K 169 3
                                    


Siang itu setelah Sholat Duhur di mushola rumahnya, Prilly mendengar suara pintu diketuk dua kali. Lalu diikuti suara pintu ruang tamu Prilly yang terbuka. Menampilkan seorang cowok dengan kacamata berdiri di belakang pak Iko.

"Assalamualaikum neng Prilly."

"Waalaikumsalam pak Iko, udah dateng toh? aku kira masih setengah jam lagi."

"Salah perkiraan jam non si bapak, untung saya sudah ready di bandara dari tadi pagi hahaha."

Prilly ikut tertawa mendengar ucapan supir pribadi keluarganya itu. Ayahnya ini—bagaimana bisa salah memperkirakan jadwal kedatangan Ali? Bagaimana jika cowok itu tersesat nantinya.

Ali Syarief.

Cowok berkacamata dengan kulit kuning langsat yang masih berdiri canggung dibelakang pak Iko itu menatap Prilly malu-malu. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Sedangkan Prilly yang sadar dengan situasi pun langsung mempersilahkan keduanya untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Waduh non, saya mau jemput bapak ini. Katanya mobilnya lagi dibawa kerumah sakit buat nganterin mahasiswa yang habis jatuh di kampus."

Prilly menggeleng tak percaya. Ayahnya ini selalu saja seperti ini—memang tipe dosen yang akrab dengan mahasiswa/mahasiswinya. Tapi tetap disiplin diwaktu yang sama. Karena itu hampir semua orang di Fakultas Sastra mengenal dan sangat menghormati ayahnya. Rizal Latuconsina—si dosen berhati malaikat.

"Yaudah deh pak, hati hati ya."

"Iya non, saya pamit dulu. Mari mas Ali."

Pak Iko beranjak keluar rumah setelah bersalaman dengan Ali. Lalu terdengar suara mobil yang meninggalkan pekarangan rumah Prilly.

Sementara itu di dalam rumah Prilly ikut duduk di sofa yang berada di depan Ali. Mengeluarkan teh kemasan dari bawah meja dan beberapa kue kering yang sengaja disimpan di sana untuk disuguhkan pada tamu.

"Ayo Ali dicobain, maaf ya gak bisa buatin teh. Soalnya dispensernya lagi rusak hehe. Kalo pake ngerebus dulu nanti kelamaan, jadi pake teh ini ehehe. Tapi tehnya gak kalah enak kok gak terlalu manis juga. Apalagi kuenya ini enak banget karena aku bikin sendiri."

Prilly tidak sadar jika ia begitu terlihat bersemangat untuk orang yang belum pernah saling bertemu sebelumnya. Tapi karena memang karakternya yang begitu ceria dan enerjik membuat cewek ini tidak masalah dengan hal itu.

Lain lagi dengan Ali, cowok ini begitu terkejut dengan apa yang ia lihat di hadapannya. Tidak pernah sekalipun melihat manusia seperti Prilly. Mereka bahkan belum saling berkenalan—Hanya saling tahu nama satu sama lain melalu ayah Prilly.

"Eh maaf-maaf aku cerewet ya? Sorry."

Prilly mendadak diam. Baru menyadari dirinya yang yang bersemangat.

"Tidak apa-apa. Kamu memiliki percaya diri yang baik."

Ali tersenyum. Lalu mengulurkan tangannya pada Prilly, berniat untuk mengajak gadis itu berkrnalan secara formal. Karena memang mereka belum melakukannya sejak 10 menit yang lalu Ali mendudukan pantatnya di atas sofa empuk ruang tamu Prilly.

"Kenalkan, Saya Ali Syarief. Student Exchange dari Dublin. Jurusan Sastra dan Budaya Indonesia. Saya lahir di Indonesia—tapi saya tumbuh di Dublin."

Prilly sedikit menganga mendengar ucapan Ali. Padahal ia sudah tau informasi tentang Ali melalui Ayahnya. Tapi tetap saja hal ini terasa begitu mengejutkan untuk Prilly. Karena setelah 3 tahun ayahnya tidak menerima murid student exchange untuk tinggal dirumahnya.

"Kenalin, aku Prilly Latuconsina. Anak semata wayangnya ayah—dosen kamu. Aku sophomore di fakultas pendidikan jurusan PLB. Salam kenal."

Dan tepat ketika Ali melepas salaman cewek itu. Mereka pun saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Hingga pukul 1.30 WIB, Rizal Latuconsina datang dengan memebawa kresek besar di kedua tangannya.

Makanan untuk penyambutan Ali Syarief sebagai anggota keluarga baru yang akan tinggal di rumah besar itu selama beberapa waktu kedepan.

[Tbc.]

20 SomethingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang