S-SAKIT, AYAH...

8.6K 503 13
                                    

Dafin keluar dari kamar dengan memakai seragam putih abu-abu. Segaram khas anak SMA. Ia berjalan menuju dapur, tujuannya hanya satu. Yaitu mencari sesuatu untuk di makannya pagi ini. Sudah dari kemarin tubuhnya belum kemasukkan asupan nutrisi. Hanya air putih yang mengalir.

Dibukanya lemari makanan yang biasa untuk menyimpan bahan makanan. Di sana, Dafin menemukan satu bungkus roti. Dafin membasahi bibirnya dengan lidah. Perutnya berdemo minta diisi. Dengan hati-hati tapi pasti,Dafin mengulurkan tangannya untuk meraih roti itu. Setelah di dapat, Ia membukannya dan bersiap untuk memakannya. Tapi belum secuil bibirnya mendarat,roti itu sudah terjatuh di lantai.

Dafin mengalihkan pandangannya dan menemukan ayahnya yang menatap tajam ke arahnya. "A-ayah? "

Plak

Satu tamparan itu mendarat mulus di pipi kiri Dafin. Panas dan terasa menyakitkan. Tamparan dengan intensitas kekuatan yang tinggi membuat jejak kemerahan di sana.

"Bagus, sekarang kamu menjadi pencuri! " bentak Sanjaya yang mendapat gelengan dari Dafin.

Dafin sudah menundukkan keolanya dalam. Takut saat melihat kilatan kemarahan di mata sang ayah. Tubuhnya juga sudah bergetar. "Arghsst. " Ringisan itu keluar saat tangan besar sang ayah dengan bebas menarik rambutnya.

Wajah Dafin dipaksa untuk mendongak. Tak ayal, pamdangan ayah dan anak itu bertemu. Dafin yang menatap sang ayah dengan sendu, berbanding terbalik dengan Sanjaya yang menatap Dafin geram dan penuh amarah.

"Jawab! Apa kamu bisu?! "

Dafin menahan sakit pada kulit kepalanya, "T-tidak ayah, Da-dafin hanya lap--par, "

Duk

Tubuh Dafin terdorong hingga membentur meja patri dapur. Sakit di punggungnya terasa kembali.

"Dasar pencuri! Tidak tau diri sekali kamu! "

PLAK

BUGH

BUGH

Diam. Dafin hanya diam saat ayahnya memukulnya dengan membabi buta. Tanpa ampun atau pun selas kasiahn secuil pun. Setiap pukulan sang ayah selalu di rasakan dengan sepenuh hati oleh Dafin.

BUGH

Sanjaya meninggalkan Dafin yang tersungkur di lantai dengan luka lebam di wajahnya. Kemarahan akan selalu timbul saat melihat wajah anak yang sudah Ia anggap pembunuh itu.

Ayah... Andai ayah tau, Dafin sakit ayah... Sa-sakit. Dafin sayang ayah, Dafin pengin ayah seperti dulu... D-dafin rindu... Ayah...

Dafin menatap sendu kepergian ayahnya. Roti yang terlempar,bahkan sudah berakhir di tempat sampah. Jika tempat sampah saja mendapat roti, maka apa kabar dengan perutnya yang butuh nutrisi? Dafin bangkit dan mulai berjalan dengan tertatih. Ia tidak boleh membolos. Tidak.

P A T E R ?

Dengan menundukkan kepalanya, Dafin memasuki ruang kelasnya. Tatapan tidak suka dan cemoohan menghina langsung menyambutnya. Tidak pernah ada sekali pun teman kelasnya yang berselera untuk berteman dengannya. Jangankan berteman, untuk menyapa dan berbicara saja,Tidak pernah. Dia terlalu hina di hadapan mereka. Entah karena apa sebabnya Ia terlihat hina di mata mereka. Apa salahnya?

Bangku paling belakang dan terletak di pojok kiri ruangan menjadi tempat dirinya di ruang kelas. Sendiri tanpa adanya teman sebangku. Meski dirinya tergolong murid yang cerdas,tetap tidak ada yang mau berteman dengannya. Dan ini sudah tahun ke tiga dirinya sebagai murid SMA. Tidak ada satu pun yang mau menjalin pertemanan dengannya.

Brak

Pintu ruang kelas digebrak dengan kasar. Mengagetkan seluruh warga di dalamnya termasuk Dafin yang tengah membaca buku fisika.

Tubuh Dafin menegang saat tahu siapa pelakunya. Dia adalah Ferdi. Siswa yang seangkatan dengannya itu memiliki hobby membully siswa lain. Baik itu junior atau seangkatan dengannya.

Dengan langkah lebarnya, Ferdi berjalan mendekati bangku Dafin. Senyum miring menghiasi wajahnya. Pikiran yang berkelana tentang rencananya hari ini. Rencana untuk melampiaskan semua keluh kesahnya.

Ferdi menyeret paksa tubuh Dafin yang memberontak meminta dilepaskan.

"Le-lepaskan aku Ferdi. "

"Tidak dan tidak akan pernah!" Sentak Ferdi dan menghempaskan tubuh Dafin di lantai kotor gudang sekolah.

Gudang yang terletak jauh dari keramaian. Letaknya yang berada di halaman belakang membuat tempat ini jarang dilewati siwa maupun guru. Mungkin hanya pagi hari ada petugas yang beroperasi siapa yang terlambat dan akan membolos. Karena di samping gudang adalah gerbang belakang sekolah.

Brak

Bugh

Bugh

Brak

Bugh

Tanpa ampun Ferdi memukuli Dafin dengan brutal. Seakan Dafin adalah samsak yang biasa Ia pukuli di rumah.

Tapi ketahuilah, jika Dafin tetap diam. Ia diam bukan berarti tidak kuat atau pun lemah. Karena setiap kali Ia akan melawan, hasilnya percuma dengan dada yang terasa sesak. Menandakan jika penyakit asmanya kambuh kembali.

"Hah... Haghhah... Hahaha... S-sudah F-erdi, " ujar Dafin dengn nafas yang sudh terrengah-engah.

"DIAM! "

Bugh

Bugh

Bugh

Bugh

Brak

Pasrah. Satu kata yang mewakili perasaan Dafin sekarang. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Kepalanya berdenyut sakit bagai dihantam palu besi. Hanya dengan berdoa meminta pada Tuhan agar ini semua berakhir.
emosinya dengan memukuli Dafin yang sudah terkapar di lantai kotor gudang.

Sa-sakit Tuhan.... Ku mohon usaikanlah semua ini. A-ku sudah tak sanggup lagi...

Detik berikutnya mata Dafin benar-benar terpejam dengan deru nafas yang tak beraturan. Ferdi hanya tersenyum miring lantas pergi meninggalkan tubuh Dafin yang tergeletak tak berdaya.



~~~~~~
Terima kasih buat semua yang udah mau baca cerita aku. Aku harap kalian bijak dalam membaca cerita.
Tau kan? Abis baca jangan lupa tinggalin jejak. Karena jejak kalian suatu motivasi buat saya untuk lebih produktif dalam menulis:v
Itu aja dulu, sekian:)

Bisa juga difollow akun Instagram saya nur_fitriyah20

P A T E R ? [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang