• Begin With The End

1.3K 227 75
                                    


"Lo yakin?"

Kamar berukuran dua petak itu telah kosong. Sebagian isinya sudah dipindahkan sejak kemarin siang. Lemari besar, peralatan musik, hiasan pohon kecil yang biasanya berada di bagian sudut guna memperindah kini tersapu lenyap. Tersisa kekosongan yang menyatu padu dengan dingin lantai.

Kim Hanbin, pemilik kamar tersebut—atau mantan penghuni sebab sudah memutuskan pergi—membalikkan tubuh. Melihat seseorang berdiri menyandar pada dinding, mengarahkan pandangan hanya kepadanya. Menunggu jawaban yang sebenarnya sama sekali tidak ingin ia ucapkan.

"Cuma sampai sini?" Donghyuk bertanya kembali usai mendapati lelaki tersebut diam sibuk memasukkan ke box perintilan-perintilan kecil yang tertinggal. "Kita bisa pertahanin loh, Bin."

Hanbin mendongak. Memberi tatapan yang membuat Donghyuk menghela napas, mengerti. Hanbin mengulum bibir bawah, berusaha tersenyum. Melihat sekitar memastikan semua telah dibawa, Hanbin kembali menatap Donghyuk. "Where is he?" tanya Hanbin.

"Studio. Udah dua hari ini dia nggak keluar dari situ," jawab Donghyuk. Hanbin mengangguk. Seakan mengerti, Donghyuk menyingkirkan tubuh, memberi Hanbin ruang untuk lewat sementara ia mengambil alih box lelaki itu untuk membantu meletakkannya di mobil.

Sesuai apa yang dikatakan Donghyuk mengenai keberadaan seseorang yang sekiranya sudah hampir seminggu ini tidak ia temui, Hanbin segera menuju studio. Lorong rumah besar yang menjadi tempat tinggal tujuh lelaki itu senyap. Tidak terdengar suara teriakan kalah bermain game, genjrengan gitar, nyanyian keras atau sekadar pekikan dan geraman sebal karena usil pada satu sama lain. Tidak pula tercium bau masakan yang biasanya menguar dari arah dapur. Benar-benar sepi meski berpenghuni.

Hanbin menarik napas, berhenti di depan pintu salah satu ruangan yang tadinya kerap ia datangi. Malah justru menjadi kamar kedua saking kerapnya berada di situ daripada kamar sendiri. Memantapkan hati, menyiapkan diri, Hanbin memutar kenop pintu. Perlahan pintu terbuka. Gelap adalah satu-satunya yang menyapa penglihatannya. Tapi Hanbin tahu, ada yang sedang ada di situ. Duduk menatap layar mati. Mendekat, Hanbin mendapati botol-botol alkohol berserakan.

Hanbin menyalakan lampu kecil yang hanya menerangi bagian komputer lantas menarik salah satu kursi, duduk di samping lelaki yang duduk tegak dengan mata nyaris tak berkedip tersebut. Dua menit berlalu, mereka sama-sama diam. Lidah Hanbin terlalu kelu. Sepatah kata pun tak bisa terucap.

"Pernah nggak lo mikir ... hidup tuh anjing banget?" Lelaki tersebut berbicara lebih dulu di menit kelima mereka saling diam. "Gue nggak pernah menyalahkan Tuhan. Gue hanya kadang berpikir kalau hidup tuh anjing banget. Keterlaluan anjingnya."

"Menyebalkannya, ketika gue berpikir hidup itu anjing, gue ngerasa bersalah. Gue ngerasa berdosa. Gue ngerasa nggak bersyukur. Dan itu bikin gue jadi nyalahin diri sendiri. Anjing, gue-nya aja yang nggak tahu diri. Anjing, gue-nya aja yang nggak bisa. Anjing, kenapa gue bego banget?"

"Gue berakhir nyalahin diri gue dan tanpa sadar, itu bikin gue jatuh lebih dalam dari sekadar takut ngerasa nggak bersyukur."

Hanbin terdiam, menunduk mendengarkan. Sudah sekian lama mereka tidak bicara. "Gue baru ngerti kalau selama ini gue cuma takut. Gue terlalu takut untuk terima kenyataan kalau gue sangat benci dengan apa yang terjadi di hidup gue. Gue baru ngerti ... kadang, gue hanya perlu ngebiarin perasaan benci dan nggak bersyukur itu hadir. Gue hanya perlu ngebiarin diri gue merasa hidup itu anjing. Karena dengan gue menyalahkan diri sendiri, sama aja gue memupuk semua perasaan itu menjadi satu yang sewaktu-waktu bisa menghantam gue lebih keras lagi."

Suara berat itu berhenti. Ada penekanan di beberapa kalimat yang baru diucapkan. Di antara remang, Hanbin dapat melihat mata itu sedikit memerah. Napasnya pun memberat. Entah sudah berapa banyak alkohol yang telah diteguk.

iKONFESSWhere stories live. Discover now