“Park Jiyeon, bisa kita bicara?” Seru seorang bibi berambut pendek dengan setelan hitam yang kini sedang ia gunakan. Wajahnya terlihat serius dengan muka datar tanpa seuntai senyum, dan sorot mata tajam yang menghujam. Wanita itu berdecak pinggang seolah menghakimi.
“Ya Tuhan, dia datang lagi..” desah Jiyeon sembari memejamkan kedua matanya dengan dahi mengernyit tak suka. Jujur saja, dia ingin menghindar sekarang kalau dia bisa. Tapi itu jelas tidak mungkin, mengingat banyaknya pria-pria bertubuh kekar yang kini mengekor di belakangnya. Kalau di hitung lagi, jumlahnya memang tak banyak. Hanya ada satu orang yang sedang berdiri di samping pintu mobil, sedang dua yang lain mengamati dari jauh.
“Maaf Ahjumma, ku rasa aku tak punya hutang pada rentenir. Dan ku pikir, keluarga ku pun tidak..” sindir Jiyeon yang memancing amarah wanita itu kian menjadi.
“Kau pikir ini lucu?” wanita itu terdengar berdecah singkat.
“Ternyata kau bukan hanya selalu ikut campur, tapi kau juga tak punya sopan santun..” imbuhnya.
“Sekali lagi maafkan aku. Tapi, apa menghina dan menindas anak SMA yang masih imut sepertiku bisa di katakan punya sopan santun, Ahjumma?”
“Kau ini!” Wanita itu terlihat menurunkan tangannya yang tadinya sempat berada di pinggang dan menatap Jiyeon dengan sebuah geraman. Ia marah, dan semua orang tahu itu.
“Aku tak ingin berurusan denganmu lagi. Gadis sepertimu hanya membuat kepalaku pusing! Aku hanya menegaskan sekali lagi, sebelum aku benar-benar mengambil tindakan. Jangan ikut campur tentang Eunha! Dan jangan menghasutnya lagi! Kim Younghoon bukanlah pria yang tepat untuknya!” Wanita itu berbalik dan melangkah pergi, sebelum urat sabarnya terputus menghadapi seorang gadis macam Jiyeon.
“Ahjumma..” pantau Jiyeon lirih. Wanita itu tak berbalik, tapi ia berhenti sejenak untuk mendengarkan.
“Terkadang, apa yang kita pikir buruuk tak selalu buruk. Tuhan punya cara pandang lain untuk hidup kita, bukan? Ada banyak kebahagiaan yang tak bisa di beli dengan uang. Termasuk hubungan manusia dan cinta..” Jiyeon melipat kedua tangannya sambil menatap langit di atas sana dengan penuh rasa bangga. Wanita itu berbalik, menatap Jiyeon sembari tersenyum sinis.
“Kau sedang mengajariku sekarang, Nona Park?” Nada bicaranya terdengar mencibir, sangat senada dengan senyum sinis itu. “Seiring berjalannya waktu, kau akan tahu. Bahwa hubungan dan cinta yang kau banggakan, tak akan pernah berakhir dengan indah jika kau masih memegang prinsip itu.”
“Bahagia hanya karena cinta, itu adalah hal klise yang paling munafik. Dasar anak muda jaman sekarang..” Imbuhnya mengejek.
“Nyonya, kita sudah mendapatkannya..” seru salah seorang berjas hitam itu sambil menarik Eunha untuk ikut bersamanya.
“Lepaskan aku, Ahjussi.. Aish!” Eunha terus meronta, meminta di lepaskan.
“Eomma, jebal..” rengeknya. Tapi wanita yang di panggil Eomma itu sama sekali tak tergoda.
“Cepat masuk ke dalam mobil! Kau ada les piano setelah ini..”
Dan Jiyeon bisa melihat dengan jelas ketika mereka membawa Eunha pergi. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dalam pikirannya berseru tentang bagaimana ada ibu seperti itu di dunia ini. Apakah kebahagiaan putrinya bukanlah hal yang penting?
“Apa ada banyak kutu di kepalamu? Kenapa terus menggeleng?” Pria itu menyentuh kepala Jiyeon. Entah sejak kapan ia mulai berdiri disana. Kedatangannya seolah tanpa suara. Atau memang, Jiyeon terlalu sibuk hingga dia tak menyadari.
“Cih! Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu!” Jawab Jiyeon sambil mengusap-usap kepalanya kesal, dan hendak melangkah pergi. Tapi, Myungsoo dengan cepat menahannya.
