CHAPTER 1

19.7K 1.5K 225
                                    

Duk! Dihantamnya pintu garasi itu. "Sial!" Gerutunya dengan kesal. Tidak ada yang lebih gila daripada mereka. Tidak ada yang lebih sial daripada aku.

Huuh!! Dihempaskannya tubuh yang bermandikan peluh itu ke sofa baru. Rumah baru. Kompleks perumahan baru. Semua serba baru. Dan besok si pengantin baru akan mulai menginjakkan kakinya di setiap jengkal kehidupanku.

Memang tidak untuk selamanya. Dalam perjanjian itu hanya dikatakan paling sedikit enam tahun. Habis itu mau putus, putuslah. Tetapi enam tahun tinggal serumah dengan setan kecil itu sama saja dengan dihukum penjara seumur hidup ditambah enam tahun!!

Lalu bagaimana dengan reputasiku? Aku bisa saja mengakuinya sebagai saudara sepupuku atau entah apaku. Tetapi sampai berapa lama orang mau percaya? Pembunuhan yang paling rapi saja bisa terbongkar. Apalagi kasus menyolok seperti ini.

Keluarga Seo adalah keluarga kaya yang sangat populer. Paman Seo adalah salah satu pemilik hotel-hotel kelas Internasional di sepanjang Pulau Jeju. Ia juga memiliki beberapa real-estate mewah di kota Seoul. Tetapi yang lebih membuatnya terkenal adalah sumbangan-sumbangannya pada pemerintah. Sumbangan yang tidak hanya berupa bingkisan khusus yang diantarkan ke rumah orang-orang tertentu, tetapi juga sumbangan yang berupa gedung-gedung sekolah, gedung rumah sakit dan lain-lain gedung pelayanan masyarakat.

"Buat apa sih antar-antar bingkisan segala macam?" Pernah suatu ketika aku bertanya, "Kan sumbangan sosial yang Paman berikan sudah banyak?"

"Mark....Mark," gelengnya. "Jadi orang itu jangan terlalu kaku. Tidak setiap niat baik kita dihargai orang. Dalam kehidupan nyata justru orang-orang yang punya niat baiklah yang paling banyak dimusuhi..." Laki-laki itu berhenti sebentar untuk menyalakan cerutunya. "Maka dari itu," sambungnya lagi, "kita harus selalu fleksibel. Sedapat mungkin mempersempit kemungkinan dimusuhi oleh pihak-pihak yang bisa mempersulit hidup kita..."

Itulah Paman Seo. Diplomat ulung yang seharusnya jadi politikus. Ya, seharusnya ia jadi politikus. Supaya bisa menyalurkan bakat main caturnya di tempat yang semestinya.

Memang betul ini semua salahku. Aku terlalu menganggap remeh tanggung jawab yang diserahkannya. Tapi bukankah perampokan bisa terjadi kapan saja?

"Perampokan itu tak mungkin terjadi kalau selama ini kamu mau dikawal seperti yang selalu saya usulkan. Dan tidak menunggang motormu macam jagoan saja. Kalau memang betul jagoan, lain perkara. Menggunakan pistol pun tak berani."

Yah, memang salahku. Tentu saja aku tak berani berterus terang bahwa pistol yang dipinjamkannya itu tak pernah kubawa-bawa. Aku tak melihat kegunaannya. Karena bagaimanapun juga pistol itu tak akan kupakai. Pertama, aku tak ingin membunuh orang. Kedua, disaat genting mana mungkin aku teringat untuk mengeluarkannya. Aku bukanlah superhero yang bisa mencabut pistol secara refleks.

Sehari itu ia marah besar. "Kamu harus menggantinya, Mark. Jangan kamu fikir kamu bisa mencuci tangan begitu saja. Kamu betul-betul sudah mengecewakan saya. Nanti malam akan saya bicarakan kasus ini dengan orangtuamu."

Keesokan harinya aku dipanggilnya ke rumahnya. "Kemarin saya mengajukan dua alternatif pada orang tuamu: Menyuruhmu membayar kembali semua kerugian yang telah kuderita dengan hilangnya permata itu atau menikahi anak saya secara bawah tangan tanpa catatan sipil. Orangtuamu mengatakan bahwa mereka tak sanggup membantumu mengumpulkan jumlah sebanyak itu. Akhirnya tinggallah alternatif kedua. Mereka tidak keberatan. Enam tahun cepat berlalu, kata mereka. Hanya perlu dijalani. Tapi mencari uang pengganti kerugian seharga permata itu belum tentu bisa terkumpul dalam waktu enam tahun. Bahkan mungkin tidak akan pernah terkumpul selama-lamanya. Well, apa katamu?"

"Apa.... apa tidak ada alternatif ketiga, Paman?" Seperti misalnya saya bekerja pada paman untuk..... untuk jangka waktu yang terserah Paman..... kerja apa saja saya mau.... tanpa dibayar...."

SI PENGANTIN KECIL (MARKHYUCK)Where stories live. Discover now