Sixteen

4.2K 601 245
                                    

Pagi ini Jimin tidak melihat keberadaan Yoongi yang biasa menunggunya duduk diatas gerbang, menyapanya dengan gestur memabukkan; ia tersenyum kelewat manis lalu dengan sentakan keanggunan menuruni beton seolah baru saja turun dari kereta kencana.

Kepanikan menyetrum sekujur tubuh Jimin, jangan sampai pria kecil itu berbuat masalah dan Jimin kembali gagal mendapatkan warisan ayahnya, mendapat tahta yang sudah seharusnya diatas namakan dirinya. Deguk nafasnya kembali terurai ketika matanya menangkap siluet Yoongi yang pucat duduk menyeka darah di wajah babak belurnya.

Beberapa kelas yang sepi Jimin lewati seperti sekelebat bayangan, ia tak mengerti apa alasan ia berlari, mendongakkan Yoongi dan merajamnya dengan mata sanksi. "Kenapa?"

Yoongi mendesis nyilu, "sakit Jimin." Yoongi ingin menertawai dirinya ketika mengeluhkan hal yang biasa terjadi padanya, ini tak seberapa tapi Jimin berhasil ia kelabui. "Sakit sekali rasanya, coba kau cium." Yoongi menarik jas mahal Jimin seolah menarik kaus murahan biasa. Bibirnya mengerucut dan Jimin menekan lukanya sebal.

"Akh!"

"Yoon, apa kau di bully?"

Yoongi mengangguk, darah segar dibibirnya dia bersihkan. Lalu meminta Jimin membuka mulut kemudian ia jejalkan darahnya pada bilah Jimin yang menguak khawatir. "Kau lebih menyeramkan dengan wajah sendu begitu." Sautnya, matanya membiru sebelah sampai Yoongi tak merasakan ia sedang membuka mata atau mengatupkannya.

Jimin menelan ludah. Ada rasa besi di dalam mulutnya. Ia juga tak ingin meludahkan darah Yoongi, ia hanya terlampau terpana pada bibir merah muda yang menyungging senyum tanpa embel-embel seringai nakal. "Aku sudah berjanji untuk menepati janji kita Ssaem."

"Gila." Cetus Jimin jengkel.

"Memang." Yoongi cekikikan lalu mendesis saat lukanya perih. Ia baru saja di keroyok massal, seandainya bukan karena melihat Jimin di koridor sudah mati para hama-hama pengecut itu di tangan Yoongi.



"Aku cukup suka disiksa begini kok." Yoongi berbicara lagi, membuat Jimin yang tercenung mengangkat sebelah alisnya. Sialnya ketampanannya jadi kian biadab. Merajam Yoongi perlahan-lahan di dalam.

"Karena kau akan lebih perhatian." Kali ini cekikikannya memburai menjadi tawa renyah. Menyenderkan kepalanya di bahu Jimin, ia cukup pusing, tingkah sok malaikat ini cukup menguras tenaga, ia mengacungkan tangannya yang membawa map hijau lalu menunjukkan hasil nilainya. "Kau sudah melihatnya?"

"Di papan pengumuman kau menjadi 100 tepatnya 80 besar brengsek, kau tidak akan tau seberapa bangga akuㅡKau memukau Hyung, sungguh." Terselip nada bangga dalam ungkapan Jimin yang menggebu.

Mereka saling pandang, "benar?" Tanya Yoongi yang diangguki spontan oleh kepala Jimin. "Lalu kau mulai mencintaiku?"

Jimin tidak pernah tau dilempari beton itu seperti apa kecuali spiderman dan kawanannya. Tapi sekarang, ia mengerti. Keterkejutannya dimatanya tak bisa ia sanggah. Ingin segera membekap mulut Yoongi dengan beberapa rentetan keserakahan ciuman. Ia memejamkan mata, nafasnya ditata, bibirnya mengolah untaian kata. Kedua telapak tangannya menyentak lembut bahu Yoongi, menjauh 'kan tempurung kepala Yoongi dari bahu sempitnya yang nyaman. Obsidian Yoongi mengerjaap taat, tak menolak sentuhan defensifnya. Wajah mungilnya memiring lucu menunggu bibir Jimin menguak menyebut namanya fasihㅡseolah memang bibir Jimin dicipta hanya untuk itu. "Hyung, kupikir kau salah paham disini."

"Apa?"

Binarnya tidak pernah hilang untuk Jimin, sorotnya penuh keyakinan. Menumpukan segalanya di bahu Jimin ia tersenyum lagi. Ia menunggu kalimat yang seharusnya tak pernah ia ingin dengar.

GANGSTA (pjmxmyg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang