Mengapa harus merasakan sakit?
***
Arya menatap undangan pernikahanya dengan Prilly. Undangan tak berguna itu masih ia simpan. Jujur saja sampai saat ini perasaan cinta itu belum juga hilang. Melupakan orang yang pernah dicintai itu memang sulit, bahkan sangat sulit. Arya mengakui hal itu. Seharusnya ia tidak begini, ini salah. Ia sudah terlanjur dalam mencintai manusia dan mungkin ini adalah hukuman untuknya, Allah cemburu dan akhirnya memberikan rasa kecewa pada seorang hamba yang telah menduakan cinta-Nya. Arya harus percaya bahwa ini adalah ketetapan takdir, Prilly memang tercipta bukan untuknya. Bahwa Prilly hanyalah perempuan spesial yang hanya diizinkan singgah bukan untuk menetap.
Arya menghela nafas. Perlahan ia memasukkan undangan itu ke tempat sampah, membuangnya dengan perasaan yang sakit luar biasa. Hari ini semesta kembali mengizinkan dirinya menatap mata indah milik Prilly, merasakan kembali degup yang sempat hilang itu.
"Tidak seharusnya aku masih berharap pada seseorang yang sudah tak lagi menyediakan harapan." lirih Arya.
Lamunan Arya buyar ketika dering telepon di sampingnya terdengar.
"Wa'alaikumsalam," Arya menjawab salam ketika meletakkan ganggang telepon di telinganya.
"Langsung saja ke ruangan saya." Arya meletkkan kembali ganggang telepon di tempat semula.
"Silahkan masuk!" ucap Arya ketika pintu ruanganya di ketuk.
"Selamat sore Pak."
Arya menatap seorang lelaki yang kini berdiri di hadapannya. "Sore, ada apa Rei?"
"Apa Bapak bisa bertemu dengan clien lusa nanti?" tanya lelaki bernama Rei itu.
"Saya sudah ada janji di hari itu," jawab Arya. "Kalau ingin bertemu dengan saya bikin janji dulu."
"Baiklah, nanti saya kabari lagi. Permisi Pak." Rei mengangguk hormat pada Arya.
***
"Bang Andre," Prilly memeluk Abangnya itu erat. Ini sudah hari ketiga ia menginap di rumah orang tuanya. Kebetulan sekali Andre yang memang juga sudah pisah rumah berkunjung hari ini.
"Mbak nggak di peluk?" tanya Aya.
Prilly mengurai pelukannya. "Cini peyuk," ucapnya menirukan gaya bicara anak kecil.
Aya tertawa setelahnya ia memeluk adik iparnya itu.
"Rame lagi deh rumah Mamah." Riani muncul dari dapur. Wanita paruh baya itu membawa toples berisi kue.
"Wah kue buatan Mamah, enak." Andre langsung menyambar toples itu, membukanya lantas mengambil satu kue.
"Bismillah dulu." Aya menyenggol lengan suaminya.
"Abang mah kebiasaan." Prilly ikut menimpali.
"Bismillah kok dalam hati." Andre membela diri.
"Ngeles mulu." Prilly ikut mencomot kue lalu memasukkanya ke dalam mulut.
"Cobain Ay," Riani menyodorkan kue itu pada Aya.
"Makasih, Ma." Aya mengambil satu kue.
"Mama ke dapur dulu, ya." pamit Riani berlalu meninggalkan putra-putrinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Captain, I Love You | Selesai
Random[Follow akun Author terlebih dahulu sebelum membaca] Berawal dari pertemuan yang tak disengaja lalu berlanjut pada kejadian yang tak pernah diduga sebelumnya. Sebuah kejadian yang berujung pada masalah yang cukup pelik. Ali dan Prilly harus menikah...