- 19 -

306 47 15
                                    

Tugas sekolah semakin banyak, Meilia bersyukur perhatiannya bisa teralihkan. Selama beberapa minggu ini, hampir setiap hari, Riezka diantar jemput oleh Kakak Kelas Muka Jerawat. Tapi tetap saja gadis cheerleader itu mengaku kalau mereka tidak pacaran. Meilia tidak mau ambil pusing, toh ia tidak menyimpan hati pada anak kelas 3-Perhotelan itu. Setidaknya, itu yang ia coba katakan pada dirinya sendiri.

"Mei-Meilia," panggil satu suara di tengah keramaian siswa yang berlomba keluar gerbang sekolah.

Meilia memutar tubuhnya mencari asal suara. Sesosok tubuh tinggi membelah kerumunan dan berjalan ke arah Meilia.

"Oh, Bang Ed," sapa Meilia begitu mengenali siapa yang tadi memanggil namanya. Ia memperhatikan sebuah helm yang ada di tangan Edward.
"Mau jemput Riezka? Dia gak sekolah hari ini," ucap Meilia ramah.

"Ah, ehm, aku... mau minta tolong sebenernya," kata Edward sedikit terbata. "Tolong antar aku nengokin Riezka, mau ya?"

Meilia menelengkan kepala. "Kok, minta antar sama aku? Aku malah nggak tahu di mana rumah Riezka," jawab Meilia. Sebenarnya ia malas menjadi kambing congek. Bayangkan saja kalau dua sejoli itu bertemu, lalu betapa kasihan Meilia hanya jadi penonton kemesraan mereka.

"Ehm... aku... ehm... kamu... nggak khawatir ama Riezka? Plis, temenin aku, yuk?" pinta Edward sambil menyodorkan helm di tangannya.

Meilia memandang mata cokelat di hadapannya. Otaknya ragu, tapi hatinya melonjak kegirangan. Kapan lagi bisa naik motor bersama lelaki yang diam-diam suka hadir dalam mimpinya.

"Oke. Tapi nanti anterin aku pulang ya, Bang?" Edward mengangguk. Meilia mengambil helm hitam dari tangan Edward dan memakainya.

Meilia memperhatikan Edward yang dengan sigap menjalankan motornya. Entah sudah berapa sering lelaki ini mengunjungi rumah Riezka, kelihatannya sering sekali. Edward tahu jalan tikus menuju rumah Riezka, sehingga perjalanan bebas macet.

Mereka berhenti di depan gerbang hitam yang menjulang tinggi. Rumah Riezka besar sekali, bisa parkir sepuluh bus pariwisata di halaman rumahnya, Meilia sampai melongo.

Edward turun dari motor dan menghampiri gerbang. Meilia membuntuti di belakang, terlihat seorang Bapak sedang berjongkok membetulkan paving block dekat semak bunga. Bapak itu mendongak begitu mendengar suara bel di depan gerbang dibunyikan.

"Eeh, Den Edward," kata Bapak itu beranjak bangkit dan berjalan menuju gerbang. "Sebentar Bapak buka gerb..."

"Selamat siang, Pak," Edward mengangguk hormat. "Mau ketemu Riezka, dia ada di rumah, Pak?" Bapak itu berhenti melangkah lalu menatap Edward dengan pandangan bingung.

"Oh, Non Riezka kan lagi ke Bogor," jawab Bapak itu agak memiringkan kepalanya.

"Oh, makasih Pak. Kami datang lagi lain kali," kata Edward sedikit membungkuk lalu berbalik. Hampir saja ia menabrak Meilia yang ada tepat di belakangnya.

"Ow, sori Mei," katanya. Sumpah Meilia melihat semburah merah muda di pipi Edward. "Riezka lagi ke Bogor kata Bapak itu, lain kali aja balik lagi. Yuk, aku antar kamu pulang," ajak Edward sedikit menunduk. Meilia hanya mengangguk lalu melihat ke arah gerbang. Bapak tadi masih melongo di tempatnya.

"Bang Ed sudah sering ke rumah Riezka, ya?" selidik Meilia. Meski ia tahu jawaban Edward setidaknya akan membuat hatinya tidak nyaman, tapi tetap saja ia penasaran.

"Iya, lumayan," jawab Edward singkat. Tuh kan, hati Meilia jadi gundah gulana. Nggak, itu bukan perasaan cemburu. Bukan.

Motor berhenti di lampu merah. Sekelompok lelaki memainkan musik di pinggir jalan, lalu seekor monyet kecil naik sepeda berputar-putar di atas trotoar.

"Mei, lihat itu ada topeng monyet," kata Edward menyenggol kaki Meilia.

"Iya, pinter banget bisa naik sepeda. Aku nggak bisa," sahut Meilia, melongok dari balik pundak Edward.

"Ih, kamu kalah ama monyet, ahaha..." Edward tertawa. Meilia memandangi pundak lelaki di depannya berguncang. Jujur saja, ia menikmati gelak tawa itu, yang rasanya baru pertama kali ia dengar. Ternyata Edward tidak segalak yang Meilia kira selama ini.

"Sarimin pergi ke pasar!" seru pengamen di pinggir jalan lalu membunyikan simbal di tangannya. Jeng! Jeng! Jengjengjeng! Monyet kecil itu turun dari sepeda lalu mengambil keranjang dan payung kertas lalu berjalan bolak-balik bak peragawati, eh barangkali peragawan. Entahlah. Meilia kurang bisa membedakan monyet lelaki dan perempuan. Mereka terlihat sama saja.

"Mei, mampir ke tempat Es Teler yuk? Panas nih," usul Edward yang sudah melaju di jalan raya.

"Oke," jawab Meilia pendek. Dalam hati, Meilia tidak ingin jalanan ini berakhir. Ternyata duduk di belakang Edward di atas motor, sungguh nyaman.

'Hush! Mei, nggak boleh menginginkan milik orang lain!' terngiang petuah Pak Bambang.

Berani sumpah pakai suer, Es Teler yang sering Meilia beli sepulang olahraga sore di Monas, kalah enak dengan Es Teler traktiran Bang Ed. Es serutnya lebih lembut, isinya lebih banyak, nangkanya lebih manis, cingcaunya lebih segar. Semua itu membuat senyum Meilia mengembang nggak kempis-kempis.

Meilia sudah tahu kalau Edward gila basket. Lha wong setiap pagi ketika Meilia latihan atletik, Edward selalu hadir di lapangan basket, dengan atau tanpa teman-temannya. Tapi hari itu, Meilia jadi tahu lebih banyak tentang Kakak Kelas Muka Jerawat.

Sambil menyantap Es Teler pelan-pelan, Meilia belajar kalau Edward juga gemar baca komik, seperti Riezka. Edward tinggal bersama Neneknya, seperti Meilia. Edward jarang bertemu orangtuanya sejak kecil, Meilia jadi iba mendengarnya. Meilia tahu benar rasanya jauh dari orangtua, hati dilanda rindu setiap hari. Saat Meilia kangen Mama dan Bapak Kumis, ia akan pergi ber-jogging. Meilia mengerti kenapa Edward main di lapangan basket terus. Meski katanya dia pingin jadi atlet NBA di Amerika sana, padahal pasti untuk mengatasi kesepian dan rasa rindunya.

Meilia tahu, ia harus rajin bertanya, karena kalau tidak, Edward makan terus dan sedikit bicara. Itu pun Edward sudah menghabiskan dua mangkok Es Teler. Sebenarnya doyan atau lapar sih?

Dibalik rangkaian percakapan, lontaran komentar dan candaan mereka, teruntai doa yang sama. Semoga hari ini tidak cepat berakhir.

***

TUNGGU AKUWhere stories live. Discover now