Scratch

31 3 2
                                    

Aku gagal menjaga hatiku tetap utuh. Satu demi satu kepingan mulai menghilang. Meninggalkan kekosongan. Menyisakan luka menganga yang tak bisa kusatukan dengan jahitan.

Mereka pergi begitu saja tanpa peringatan. Tanpa mengucap salam perpisahan.

Mendung.

Nisan yang diukir dan diletakkan berdampingan itu terpatri di mataku. Setiap bunga yang tengah bersandar dalam bisu, hanya menambah warna kelabu.

Satu persatu orang yang ikut mengantar, mulai meninggalkan lokasi pemakaman. Beberapa yang mungkin kenalan, terlihat membentuk lingkaran di muka gerbang. Walau tak bertemu pandang, aku tahu sesekali mereka melempariku lirikan.

Aku berusaha tidak mengacuhkan mereka. Kedua mataku hanya tertuju pada gundukan tanah di depanku. Yang menjadi penghalang di antara diriku dan orang tuaku.

+++

"Ada yang belum kebagian partner?"

"Semuanya udah dapet, Ian."

"Jumlah anak di sini genap, mana bisa jadi kurang, sih, Nat."

"Oh, tuh, si boncel belom kebagian. Lutfi, lo ajak dia, gih. Daripada lo jomblo."

"Anjir. Males bet gua!"

Ucapan-ucapan bernada serupa semakin akrab kudengar. Sakit hati karenanya pun kini terasa lebih samar. Karena di antara mereka, ada satu orang yang selalu menjadi penawar.

"Lo bisa ajak si Dwi. Biar Gita jadi partner gue."

Itu dia.

"Serius lo, Dan?"

Tanpa menghiraukan tatapan aneh dari sekitar, lelaki yang dikenal tidak banyak bicara itu sudah duduk di sebelahku.

"Katanya kamu pinter soal penelitian ilmiah. Makanya aku pilih kamu jadi partner."

Aku tahu itu cara ia mengajakku bercanda. Dan memang selalu bisa memunculkan senyum di bibirku. Meskipun leluconnya sering kali tidak lucu.

+++

Semakin hari aku semakin tidak peduli dengan pandangan orang-orang. Asalkan aku bisa bersamanya. Aku tak peduli diberi cap benalu oleh hampir semua orang yang mengenal Fardan. Yang terpenting untukku, Fardan tulus mencintaiku.

"Gita, pinjem Fardan bentar ya. Bentaaar aja."

Seorang lelaki berambut cepak yang kutahu salah satu teman Fardan di klub-nya, menghampiri kami yang sedang makan siang di kantin belakang kampus.

Biasanya, aku hanya perlu menatap Fardan. Karena lelaki itu akan langsung memahami apa yang kuinginkan. Tentu saja aku tidak mengijinkan siapa pun memisahkan kami.

Tapi kali ini dia seperti tidak peduli.

"Bentar ya, Git. Aku ikut Angga ke ruang klub dulu. Kamu tunggu di sini. Gak bakal lama, kok."

Kemudian aku melihatnya pergi.

Tanpa sadar tanganku sudah membengkokkan gagang sendok, lagi.

+++

Suara kunci berputar menjadi pertanda kehadiran seseorang. Aku memang sengaja memasang kunci itu kembali. Tidak ada salahnya sedikit memberi kejutan untuk orang terkasih. Bukan begitu?

"Gita? Kok kamu bisa ada di dalam?" Fardan belum melepas sepatunya. Matanya langsung menatapku tak biasa. Mungkin heran. Mungkin bercampur ketakutan.

ScratchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang