3. Bawa Kata Duka

Mulai dari awal
                                    

Dennis menyingkirkan mereka seketika dia sampai di kamarnya.

Dennis hanya tidak ingin melihat sesuatu yang bisa mengingatkannya pada cita-cita dan impiannya, terlalu menyakitkan. Yang dia lakukan sekarang hanya berdiam diri, duduk di belakang meja belajarnya. Entah apa yang dia perhatikan, pandangannya tertuju pada Sam dan Dean Winchester yang sedang bermain lempar bola baseball di halaman rumah mereka.

Kakak beradik Winchester itu, dulu sering berkunjung ke rumah Dennis, memainkan semua mainannya. Dennis ingat ketika dia mengatakan ingin menjadi Toy Designer jika dia besar nanti, Sam yang mendengarnya melonjak girang menyebutkan semua mainan yang dia inginkan, sedangkan Dean, sang kakak, terlihat sedang berpikir keras. Kemudian, dengan ragu-ragu dia bertanya pada Dennis, “apa kau juga akan membuat pistol mainan? Jika iya, kau harus membuatnya persis seperti aslinya, janji, kau harus membuatkan satu khusus untukku.”

Dennis tersenyum kecil mengingat bagaimana cara Dean memaksanya berjanji, temperamen anak 8 tahun itu sungguh di luar dugaannya.

“Sam, Dean,” gumam Dennis pelan, matanya berkedip seperti sedang berpikir, tiba-tiba sesuatu terlintas dalam benaknya. Dennis berlari keluar kamar, berteriak memanggil Ibunya.

Rina sedang memasak makan siang mereka saat itu, sampai dia mendengar suara sang putra. Suara yang dia rindukan, bahkan beef bacon yang hampir gosong dia tinggalkan begitu saja di atas penggorengan demi menghampiri sang putra.

“Ada apa sayang?  Apa kau ingin makan sesuatu?” tanya Rina gembira begitu melihat Dennis menuruni tangga.

Tidak ada jawaban dari Dennis, dia berjalan mendekat, menggapai tangan kanan Rina dan membawanya duduk di ruang makan.

“Orang  itu, Ilham Purwoko setelah meninggalkan Ibu apa dia menikah lagi bu?”

Pertanyaan pertama Dennis, dan Rina sudah tahu kemana ini akan berujung. Rina tahu betul bagaimana putranya, jika dia hanya diam, maka Dennis akan mencari jawabannya ke tempat lain. Karena itu, Rina mengangguk pasrah.

“Apa dia punya anak dari istri barunya bu?”

“Iya, seorang anak laki-laki.”

“Bagus …. “

“Kau tidak bisa melakukannya Dennis, apa pun yang kau pikirkan, Ibu mohon jangan lakukan itu.”

“Satu ginjal, dan dia tidak akan mati Bu,” ketus Dennis, dia beranjak meninggalkan Rina yang menangis tersedu. Meratapi dirinya yang tidak berguna, Rina ingin melihat putranya bahagia tentu saja. Tetapi, tidak dengan mengambil kebahagian anak lain.

Adalah Dennis dengan segala kemauan besar yang ada pada dirinya, tidak sedikit pun dia memikirkan untuk mundur, untuk menimbang-nimbang lagi keputusannya. Walau dengan semua pertimbangan yang di lemparkan Ibunya, tentang kecocokan ginjal mereka yang tidak pasti, tentang Dennis yang belum pernah kembali ke Indonesia sejak 17 tahun lalu, dan tentang bagaimana keluarga baru sang ayah merespon kedatangan Dennis yang tiba-tiba.

Rina tidak menyerah, hingga dia melihat Dennis mulai menangis ketika kedua tangannya sibuk mengemasi pakaian.

“Mereka mengambil ayahku Bu, aku hanya minta satu ginjal putra mereka sebagai gantinya, apa menurut Ibu itu berlebihan?"

Bukan hanya Dennis, kini Rina juga menangis dengan keras. Hanya suara raungannya yang terdengar, tidak ada kata lain yang bisa dia gunakan untuk mencegah Dennis, tidak ada yang lebih ampuh, yang bisa melawan kalimat sang putra yang telah membungkamnya.

Rina menyerah, siang itu juga dia membiarkan Dennis kembali ke tanah air.

***

Menempuh hampir 20 jam perjalanan membuat Dennis benar-benar kepayahan, kepalanya pening, dan kakinya lemas tidak bertenaga. Belum lagi jet lag yang menimpanya, perbedaan waktu 14 jam benar-benar berpengaruh pada kondisi Dennis.

Kumpulan Cerpen Si Gajah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang