"Kenapa?"

"Karena ini adalah pertama kalinya aku datang ke acara seperti itu dan aku tidak tau harus mengenakan pakaian seperti apa."

"Kau seharusnya jadi dirimu sendiri, Anna." Dia melirikku.

"Ya, aku tau."

Susana menjadi hening. Aku berdiri menatapnya untuk memulai pembicaraan lagi, tapi seperti nya ia lebih memilih diam. Jadi, aku memutuskan untuk bertanya tentang hadiah kemenangan nya.

"Um, kenapa kau tidak membawa jalang- maksudku hadiahmu tadi?"

Dia menatapku diam, "Karena aku tak menginginnya." Benarkah? Perempuan tadi sangat cantik dan tentu saja tak siapapun laki-laki normal akan menolak perempuan itu. Aku memilih untuk tak menjawab dan berjalan ke dalam kamar, "Kau mau kemana?"

"Kamar, untuk berganti pakaian."

Aku melepas bajuku dan melemparnya ke ranjang, aku mencari kaos tidurku yang biasa aku kenakan. Namun, disaat aku berjalan menuju koperku, pintu kamar terbuka tiba-tiba. Aku terkejut saat Nathan menampakkan dirinya, sontak aku menutup dadaku dengan tangan. Tak ada apapun yang bisa aku gunakan untuk menutup dadaku yang hanya mengenakan bra.

"Nathan!! Berani nya kau!"

"Anna.." Suaranya terdengar berat.

"Keluar, Nathan." Bukan nya keluar, ia malah berjalan mendekat kearahku. Aku panik dan tak tau harus apa. Sialan! Kenapa Nathan berani masuk tanpa izin?! Aku melihat matanya yang mengunci pandangannya padaku. Aku merasa terintimidasi oleh tatapan tajam nya.

"Jangan pernah berbicara dengan Liam lagi, Anna."

"Kenapa?"

"Karena dia bajingan."

"Dia temanmu, bukan?" Dia menggeleng. Dan tak ku sangka kini Nathan hanya berjarak dua kaki dariku.

"Nathan, mundur. Kau mau apa?"

"Kau." Alisku terpaut bingung. Ini bahaya, aku tidak boleh hanya berdiam diri disini atau aku akan habis oleh nya. Saat aku ingin melangkah pergi, ia sudah menangkap kedua tanganku.

"Kumohon."

"Nathan, kau gila!"

"Tidak. Aku tidak gila."

"Ya! Kau gila! Kau tidak bisa mengendalikan emosimu saat ini. Aku tau kau mengidap Bipolar Disorder."

Tatapan nya seketika menajam, genggaman nya seketika terlepas dari tanganku, "Kau tau dari mana? Katakan, Anna. Katakan!" Ia kembali menarik tanganku hingga dadaku tidak tertutupi lagi oleh kedua tanganku.

"Theo. Dia yang menceritakannya ketika kita berdebat waktu itu. Dia bilang padaku saat itu kau mabuk-mabukan di bar." Aku menjawab nya dengan takut.

"Fuck. Theo selalu saja ikut campur dengan urusanku!"

"Jangan salahkan dia, Nathan. Um, aku yang bertanya padanya."

Dia menatapku dan mendekatkan dirinya hingga tak ada lagi jarak yang menghalangi kami, "Kalau begitu kau harus dihukum, Anna. Kau terlalu banyak bertanya." Dia mencoba mencium bibirku tapi aku membuang muka dengan cepat.

"Kau mau apa, Nathan?"

"I wanna fuck you, baby." Aku menggeleng tegas, "Tidak! Aku tidak mau! Lepaskan aku!"

"Terlambat!" Dia mendorong tubuhku hingga aku terjatuh ke atas ranjang. Mata Nathan terlihat gelap dan begitu bergairah. Apa yang sebenarnya Nathan rasakan saat ini?

"Nathan, kumohon."

Nathan tak menghiraukan ku dan ia langsung mencium bibir ku seperti orang kelaparan. Aku merasa bibirku mengeluarkan darah sehingga rasa amis terasa di mulutku. Aku menangis dan terus menangis saat Nathan melepaskan bra milikku hingga aku bertelanjang dada.

Nathan mengambil dasi dari dalam nakas dan mengikat kedua tanganku keatas sandaran ranjang. Bibirnya terus menjamah diriku dan meninggalkan tanda di sekitaran leher. Aku tak memiliki tenaga lagi untuk mendorong tubuhnya dariku.

"Don't cry, baby. Don't cry. Sshhhh."

Aku menggeleng dan semakin kuat untuk menangis. Dia mengecup bibirku dengan lembut. Aku tak pernah memikirkan Nathan akan memperlakukanku hingga seperti ini. Tangannya kembali menjamah tubuhku dari mulai dada hingga bagian bawah. Seketika tubuhku menegang saat tangannya masuk kedalam celana dalamku dan menyentuh area sensitif ku. Aku semakin menggeleng kuat, "Jangan, Nathan! Jangan.." Aku memohon padanya.

Nathan menatap mataku dengan lekat. Seketika ia memundurkan badan nya dariku dan menarik rambutnya serta berteriak begitu keras.

"Anna! Aku minta maaf, sungguh. Aku tidak tau apa yang aku lakukan. Aku, kacau." Ia berjalan mendekatiku dan melepaskan ikatan di tanganku. Aku masih menangis sesegukan.

"Anna.. Aku minta maaf."

Aku menggeleng pelan. Sungguh aku tidak tau harus berkata apa. Nathan memperlakukan ku seperti aku ini wanita murahan di mata nya.

"Aku minta maaf, baby."

"Jangan memanggilku baby, Nathan!"

"Okai! But, i'm so sorry. Please forgive me, Anna."

"Tidak. Kau mengerikan, Nathan. Jangan mendekati ku." Aku berdiri dan mengambil bra ku yang dilempar oleh Nathan ke lantai. Aku mengenakan bajuku yang tadi aku kenakan, lalu mengemas segala barang-barangku.

"Hei? Kau mau kemana?"

"Pergi. Aku tidak bisa menumpang denganmu lagi. Maaf, Nathan. Aku tidak bisa." Aku menahan agar tangis ku tak kembali turun.

"Tidak. Tidak. Kau tetaplah disini, ini sudah malam. Kau mau kemana, huh?"

"Mencari tempat yang aman dari laki-laki mengerikan seperti kau, Nathan!"

"Aku minta maaf, ok? Aku janji aku akan mengendalikan diriku setelah ini. Aku janji. Kumohon."

Aku menggeleng dan setelah semuanya telah aku rapikan kedalam koper, aku membawa koper tersebut dan tas kecil milikku lalu keluar dari kamar sialan ini.

"Shit! Anna, please! Tetaplah disini." Dia mengejar ku namun aku sudah terlebih dulu keluar dari pintu dan menutup pintu itu dengan kuat. Aku menangis tak karuan saat masuk kedalam lift. Aku tak tau harus kemana saat ini, aku tak mungkin kembali ke rumah Paman. Aku tak tau harus kemana. Aku takut.

Ponsel ku berbunyi saat pintu lift nya terbuka.

"Anna!"

"Hai, Floyd."

To Be Continued.

The JERK From SEATTLEWhere stories live. Discover now