7. Diculik

1.8K 77 5
                                    

"Mana yang sakit?"

"Bagian mana lagi yang sakit?"

"Mau ke rumah sakit aja nggak?"

"Sakit banget nggak?"

"Beneran nggak sakit banget?"

"Kita ke rumah sakit aja ya?"

Begitulah Rey terus bertanya-tanya selagi aku diperiksa oleh suster UKS. Aku pikir, hanya pusing yang kurasakan.

"Badan kamu panas, ini saya kasih obat penurun panas ya. Makan dulu, baru minum obatnya. Jangan lupa langsung istirahat," ucap suster seraya memberiku selempeng paracetamol dan kubalas ucapan terimakasih.

"Ayo, pulang sekarang," ajakku pada Rianti dan Sinta.

"Gue sama Sinta kan nggak bawa motor. Lo kuat jalan kaki ke kostan?"

"Kamu pulang sama saya aja," ucap Rey.

Mau nolak, tapi terlalu pusing untuk jalan kaki ke kost-an.

Kulihat Rianti dan Sinta saling melirik kemudian senyum-senyum. Setelah kejadian begini, masih bisa aja mereka senyum-senyum.

"Pulang sama kak Rey aja. Btw, kak Rey udah ganteng, baik juga ternyata, nggak mau gitu sama aku? hehe," Sefrontal itu Rianti, ya walaupun terdengar bercanda. Ingin rasanya kujambak mulutnya.

"Saya pacarnya Vira," ucap Rey. Kepalaku pusing, pasti akan bertambah pusing dengan rentetan pertanyaan Rianti dan Sinta.

"Saya becanda tadi kak. Eh kakak jawabnya becanda juga, kocak juga kak Rey," Rianti nyengir. Dia kira bercanda?

"Saya nggak lagi bercanda,"

Aku menepuk dahiku. Makin runyam.

"HAH?" kompak Rianti dan Sinta berteriak keras.

"Hei, jangan berisik!" tegur suster UKS.

"Sesi tanya jawabnya nanti aja ya kutil. Kasian pala gue pusing," keluhku.

Rianti dan Sinta beneran nggak bertanya apapun. Sesampai parkiranpun, tidak ada dari kami yang membuka suara. Setelah naik ke motor Rey, bahkan kulihat dari kaca spion, Rianti dan Sinta melongo melihat kami.

Gedung kost-anku sudah lewat. Ini gawat, aku mau diculik. "Heh, ginjal gue jelek. Nggak bagus buat dijual," ucapku sambil memukul punggungnya.

"Huh?"

Aku memukul kepalanya yang terlindung helm. "Jangan culik gue,"

"Siapa yang mau nyulik kamu? Saya mau bawa kamu kesini," Kami tiba di Rumah Sakit.

Memberontak dan meminta pulang akan sia-sia, karena Rey pasti nggak mengizinkan. Padahal aku nggak kenapa-napa, ya walaupun cuma pusing. Benturan akibat Putri nggak akan buat aku amnesia.

Rey hendak menggendongku lagi, tapi tidak akan ku biarkan. "Jangan pegang-pegang!" larangku. Ia tersenyum geli melihatku.

Aku mengekorinya menuju suatu ruangan kemudian bertemu seseorang yang kupastikan adalah seorang dokter.

"Om, tolong periksa dia. Semuanya, dari kepala sampai kaki," ucap Rey pada dokter. Om? Jadi dokter dihadapanku ini, omnya. Pantas saja, cewek-cewek pada suka dengannya, selain tampan, dia juga tajir.

"Nggak selebay itu, Rey. Apaan sih," protesku.

Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk, "Jangan suka ngebantah!"

Aku hanya bisa tersenyum masam.

"Om dokter, periksa Rey juga ya. Kejiwaannya rada terganggu."

•••

A/n : Cerita saya memang ngebosenin abis. Banyak typo. Kurang panjang. Acak-acakan. Maklumlah saya masih belajar. Tapi cerita ini MURNI hasil pemikiran saya sendiri, jadi maaf bila ada kesamaan tokoh atau tempat dan tolong jangan Mengcopy cerita saya tanpa persetujuan saya. Terimakasih:)

[Saya sangat butuh kritik dan saran kalian, don't be silent readers guys!]

-Yo

My Cool KetOsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang