To Be Loved

44 9 4
                                    

Burung itu terbaring di tanah. Menurutku itu pemandangan yang aneh. Jika kelelahan, biasanya burung beristirahat di sarangnya, atau kadang bertengger di ranting pohon. Mengapa burung ini malah memilih tanah yang kotor sebagai tempat peristirahatan? Dan mengapa pula bulu-bulu di tubuhnya tampak kusut dan berantakan?

Maka aku pun menghampirinya, untuk bertanya apakah ia baik-baik saja, atau adakah yang bisa kulakukan untuknya. Namun ketika aku menyentuh tubuhnya, ia mengangkat kepala dengan lemas, lalu mendadak saja kembali tertidur. Aku menunggunya selama beberapa saat, dan ia tak pernah membuka mata lagi.

Aku jadi sedih, dan berpikir untuk kembali mengelilingi hutan. Tak lama aku menemukan serigala. Dia terkapar di atas rumput dengan tubuh berlumuran darah. Dia menangis kencang, wajahnya penuh derita, mungkin tak ada yang ia inginkan saat ini selain rasa sakitnya menghilang. Pemandangan itu membuat hatiku perih. Aku ingin menolongnya. Aku harus menolongnya.

Maka seringala tersebut pun ku hampiri. Aku mengelus tubuhnya dengan harapan sentuhanku akan mengurangi rasa sakit. Tapi mendadak, ia tak sadarkan diri. Denyut jantungnya menghilang, membuatku menghentakkan tanganku.

Kenapa? Kenapa setiap binatang yang kusentuh selalu mati? Aku hanya ingin menolong mereka. Aku hanya ingin bersahabat dengan semuanya.

Kembali mengelilingi hutan, aku berjalan tanpa arah dengan lemas. Kepala menunduk menatap rumput-rumput cokelat. Seingatku tadi berwarna hijau, kenapa jadi cokelat sekarang?

Saat itulah aku menemukan kelinci di hadapanku. Ia sedang memakan rumput yang masih hijau. Bulunya putih bersih seperti awan. Ia lalu menangkat wajah, menatapku bingung. Aku tak pernah melihat kelinci seimut itu sebelumnya.

Aku lalu mendatanginya. Betapa ingin aku membelai bulunya. Namun ketika itu kulakukan, tiba-tiba saja kelinci itu melemas. Lalu tertidur. Untuk selamanya.

Aku tak bisa lagi menahan tangis. Sesuatu seakan menghantam dadaku berkali-kali dari dalam. Tubuhku berguncang hebat akibat isakan. Dan betapa rasa kesepian menyelimuti jiwaku.

Aku hanya ingin punya teman..
Aku hanya ingin berbuat baik..
Aku hanya ingin dicintai..

Saat itu aku pasti terlihat sangat menyedihkan, sampai-sampai sesuatu perlu mendatangiku. Karena ketika aku mengangkat wajahku setelah mendengar suara kayu patah, aku mendapati seekor rusa tengah menatapku, bingung bercampur prihatin. Ia memiringkan wajahnya, mengerjap dua kali, lalu tersenyum.

"Siapa namamu?" dia bertanya dengan lembut.

"A-ajal.."

"Oh ajal.. Jangan bersedih. Semua akan baik-baik saja."

Aku jatuh cinta. Rusa tersebut sangat cantik, dengan tubuh berwarna pink pudar dan beberapa bercak putih bulat di atasnya. Matanya besar, bersinar dan memancarkan kasih sayang. Sesuatu memanas dalam diriku. Aku pasti jatuh cinta.

Ia lalu melangkahkan kaki-kaki kurusnya, menjauh dariku. Aku pun mengikutinya. Aku tak mau berpisah dengannya. Kulihat ia bergabung dengan rusa-rusa lain. Apakah aku juga boleh bergabung dengan mereka? Bolehkan aku jadi teman mereka? Tapi aku tak boleh lagi menyentuh siapapun. Aku tak mau ada yang mati lagi. Terutama rusaku yang cantik.

Maka aku terus mengikuti para rusa tersebut. Kemana pun. Kapan pun. Menyusuri pinggir sungai untuk minum di pagi hari, berlari- lari di ladang rumput saat petang, menatap langit penuh bintang di bukit waktu malam, bahkan saat tidur, aku masih bersama mereka, meringkuk sambil memandangi rusaku yang cantik.

Oh, dan ia menyadari keberadaanku. Ia tahu sedang diikuti olehku. Dan ia tak keberatan. Malahan kerapkali ia tersenyum padaku, dan menggoyangkan ekornya tanda ingin mengajakku.

Hingga pada suatu hari, aku melihat rusaku berjalan dengan lemas. Kaki-kakinya seakan sudah terlalu lemah untuk menopang tubuh. Ia bahkan tak mampu lagi menyusul kelompoknya.

Ia menoleh, menatapku dengan sedih, dan itu membuatku bingung. Kakinya ia seret lagi, begitu lemah, untuk menghampiriku.

Semakin dekat..
Semakin dekat..
Semakin dekat hingga jarak kami hanya sebatas ranting pohon yang sudah patah. Aku jadi gugup, dan sangat takut.

Ku katakan padanya, "tidak, jangan rusa. Jangan mendekat."

Rusa tersenyum, lalu berbisik dengan lemah, "tidak apa-apa."

Jarak di antara kami semakin tertutup. Sampai akhirnya kami berpelukan. Kepalanya tersandar lemas di bahuku, dan aku tak kuasa lagi untuk tidak mendekap lehernya. Tak lama ia ambruk di pelukanku. Namun denyut nadinya masih ada. Aku mendengar ia bersuara lagi,

"terimakasih."

"Untuk apa?"

"Menghilangkan rasa sakitku, dan hewan-hewan lain di hutan ini. Terimakasih sudah membawa kami ke tempat yang lebih baik.. Kami mencintaimu.. Aku mencintaimu."

Ia menghembuskan napas terakhirnya. Dan aku tak tahu harus apa selain menangis kencang. Namun tidak hanya karena sedih, namun juga terharu, dan bahagia.

Aku-- Ajal-- ternyata sudah melakukan hal baik dan dicintai.

Ajal Dan Seekor RusaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang