Bunda diam sejenak sebelum menjawab. "Yeayy, ini malah lebih parah dari pulang haji Zain. Orang berhaji aja gak sampai sebulan perginya, pas pulang disambut. Apa lagi kamu yang sudah dua tahun gak pulang-pulang. Mau jadi bang toyib emang?" kekeh Bunda saat itu

"Huh." Aku mendengus sebal.

Ingin rasanya aku menolak dengan keras keinginan Bunda ini. Berdebat padanya sampai Bunda mengerti apa mauku.Tapi aku tak sekejam itu. Melihat aku yang tak melanjutkan penolakkanku, Bunda akhirnya menelpon semua kerabat untuk datang ke rumah malam ini. Dan saat kulihat senyum berseri-seri di wajah Bunda, semua kekesalanku tadi hilanglah sudah.

Tersadar dari ingatanku beberapa jam lalu, tiba-tiba rasa haus menuntunku untuk mencari minuman segar di lemari es. Tanpa memperhatikan sekeliling, aku berjalan menuju dapur yang tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa keluarga di sekitar open pemanggang kue yang aku kenali bibi dan Kakak iparku serta Bunda dan Tante Ratna di seberang meja pantry.

Sembari membuka kulkas, lalu menuangkan air putih ke dalam gelas, lamat lamat tak sengaja kudengar pembicaraan Bunda dan Tante Ratna.

"iya nis, Mira ngerengek-rengek supaya diizinin kuliah di Aussie." ucap Tante Ratna-tetangga kami, disela-sela kegiatan mengiris buah.

"Jadi gimana? Kamu izinin?"

"Di tempat yang jauh, di negara asing pula.Ya gak mungkin lah Nis. Mira anak gadis kami satu satunya. Dia mau nangis-nangis darah juga gak bakal kami izinin, kecuali,"

"Kecuali apa Rat?" Desak Bunda penasaran.

"Kecuali Mira ada yang ngejagain dan yang nemenin disana. Orang yang pastinya kami percaya. Misalnya," Lagi lagi suara Tante Ratna terpotong karena ketidaksabaran Bunda.

"Misalnya siapa nis?"

"Misalnya seorang suami," Bisik Tante Ratna

Aku hampir tersedak mendengar ucapan Tante Ratna barusan. Untung saja mereka masih tak menyadari keberadaanku disini yang tak sengaja menguping pembicaraan mereka.

"Maksudmu Mira mau dinikahkan?" Tanya Bunda terkejut.

Aku benar-benar dag-dig-dug menunggu jawaban dari Tante Ratna. Entah kenapa rasanya ini jauh lebih mendebarkan daripada saat aku menunggu pengumuman nilai sidang skripsiku. Kurasakan keringat mulai membanjiri dahiku.

"Siapalagi coba yang bisa kita percaya buat jagain anak gadis kita kecuali suaminya sendiri. Seorang yang sudah sah, halal dan pastinya sudah muhrim. Baru deh kami bisa tenang disini." Ucap Tante Ratna mantap.

Ku lihat Bunda hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Untung saja baru rencana." batinku lega.

Aku masih begitu serius menyimak pembicaraan Bunda dengan Tante Ratna saat tiba-tiba saja pikiranku menerawang

"Mira mau ke Aussie?" Tanyaku dalam hati.

"Aku kan ada di Aussie, apa mungkin aku bisa.." Pikiranku terhenti saat kudengar Tante Ratna mohon diri untuk kembali ke rumahnya sebentar.

"sekarang atau tidak akan pernah ada." Tekadku dalam hati

Selepas kepergian Tante Ratna, aku meminta Bunda untuk bicara di lantai atas sembari menanyakan di mana Ayah. Yaah, aku ingin bicara serius dengan kedua orang tuaku.

Kini aku sudah berhadapan dengan Ayah dan Bunda. Mereka terlihat bingung melihat raut wajah seriusku. Pasti mereka mulai menduga-duga, hal penting macam apa yang sampai membawa mereka ke lantai atas.

"Ayah Bunda, tolong lamarkan dia untukku." Ucapku terbata-bata.

Ayah dan Bunda malah tertawa mendengar kata-kata yang setengah mati coba aku ucapkan itu.

"Wah wah, Ayah kira kamu mau bicara apa Zain." Ayah menggelengkan kepalanya.

"Serius banget sih mukanya." Ucap Bunda menimpali.

"Siapa? siapa wanita yang telah menaklukkan hati anak kesayangan Bunda ini heh?" Tanya Bunda penasaran.

Ahh yaa, rupanya aku belum menyebutkan namanya.

"Tunggu dulu. Jangan katakan ini bule di Aussie?" Tanya Ayah memastikan.

Aku menggelengkan kepala.

"Qamira, anaknya Tante Ratna dan om Erwin." Akhirnya nama itu kusebut.

Serentak Papa dan Mama bergumam "Qamira tetangga kita?"

Aku mengangguk mantap.

~~~

Vote & comment. ini versi stelah direvisi. enjoy reading :)

Love In AussieKde žijí příběhy. Začni objevovat