Pasal 6: Bohong Kadang Perlu

707 112 46
                                    

"Apa kamu enggak akan bilang yang sebenarnya, Plan?" Bibi Pha mendekatiku sambil meletakkan semangkuk bubur ayam untukku sarapan. Aku hanya balas pertanyaan bibi Pha dengan senyuman. Tidak mudah untuk mengatakan kejujuran pada Mean.

Setelah mengucapkan terimakasih, aku melahap bubur itu dengan susah payah. Kondisiku sebenarnya belum pulih benar. Rasa nyeri kadang muncul di kepala bila aku terlalu banyak berpikir atau cemas.

Ketika aku melihat jam tangan, sudah 10 menit dari waktu yang kujanjikan pada Mean. Tidak apa-apa, Mean memang sering terlambat.

Tidak lama setelah sarapan, suara klakson mobil terdengar.

"Mean datang, Bi. Aku berangkat dulu, ya. Terimakasih buburnya," kataku.

Bibi Pha mendekatiku sambil membawa tas tenteng. "Ini untuk Mean," ujarnya yang membuatku bingung. "Dia pasti belum sempat sarapan. Jangan jahat-jahat dengan temanmu itu. Kasihan dia."

Aku hanya mengangguk sambil mengambil tas itu dan melihat sebentar isinya. Ada kotak makanan di dalamnya.

"Mean beruntung sekali," ucapku pelan.

Bibi Pha terkekeh mendengar gumamku. "Kamu juga beruntung punya teman yang bebas kamu siksa. Pagi-pagi suruh jemput kamu, apa enggak istimewa coba?" godanya yang membuatku tanpa sadar tersipu namun cepat-cepat kusembunyikan daripada nanti ketahuan.

"Bibi Pha, aku berangkat," pamitku setelah mencium tangan bibi Pha. Namun langkahku terhenti saat Mean sudah berdiri di depan pintu yang sejak pagi meman sengaja dibuka bibi Pha?

Mean memandangku. Ada kerut bingung tercetak jelas di antara kedua alisnya yang hitam dan tebal. "Bibi Pha?"

Brengsek! Mean pasti mencuri dengar aku memanggil Bibi Pha.

"Mean, ayo berangkat. Kamu jemputnya telat!" kataku langsung dalam mode pengalihan.

Tapi Mean adalah si jenius tampan. Ia menghentikanku dengan menarik tanganku cukup kuat, mengehempaskan badanku mendekat.

"Apa maksud kamu panggil Tante Pim dengan sebutan Bi?"

Mata Mean menuntutku, ada hawa dingin menyebar dari auranya yang dingin. Ini adalah hal paling kutakutkan. Mean tidak pernah seperti ini.

"Kamu salah dengar, Mean," kataku terbata, tanpa sadar menggigit bibir bawahku menahan gugup dan takut.

"Kamu bohong, Plan," katanya tajam. "Aku tahu kapan kamu bohong."

"Bibi Pha!" Suara lain mengisi ketegangan yang terjadi. Paman Nook masuk ke ruang tamu dengan seragam kebanggaannya; kaos singlet putih dan celemek warna oranye dengan gambar keropi di tengah. "Bibi Pha, Sayangku," katanya lagi lalu berjalan cepat memeluk Bibi Pha.

"Bibi Pha, aku ingin makan siang dengan kare, kamu ingin membuatkannya untukku, kan?"

Entah angin apa, aku sedang merasakan sesuatu yang aneh segera terjadi.

"Bisa tidak kamu berhenti meniru karakter drama Jodhi Akbar favoritmu itu? Lihat, anak lelakimu sampai ikut-ikutan!" kata Bibi Pha setengah berteriak sambil menyingkirkan lengan Paman Nook yang bergelayut manja.

Paman Nook nyaris membuatku terpingkal saat bibirnya mencebik sebal terhadap perlakuan Bibi Pha. "Kamu kejam sekali sih, istriku."

Takut-takut, aku melirik sekilas Mean yang memasang wajah melongo. Ekspresinya itu membuatku ingin sekali tertawa keras tapi kuurungkan. Sejenak hawa ketegangan yang semula memenuhi ruangan, perlahan memudar dan aku harus berterimakasih pada Paman Nook dan Bibi Pha dengan segala aktingnya yang menawan!

Garis-garis Besar Gebetan PlanWhere stories live. Discover now