Tepat sebulan yang lalu, Bianca ditembak oleh seseorang yang tak ia kenal. Cowok itu memaksanya padahal dia sudah menolak dengan tegas. Pada hari itu juga mereka kencan, dan Bianca baru tahu kalo cowok yang telah menembaknya itu seorang iblis yang selalu berlaku seenaknya di sekolah mereka.
Dan sekarang, cowok yang berstatus pacarnya itu duduk tepat di depannya tengah membuka lks sosiologi miliknya.
"Mending kamu balek ke kelas kamu deh, Dra."
"Kenapa? Kamu ga seneng aku samperin kamu?" Jendra mendongak merasa tersinggung.
Bianca menghela nafas jengah menaikkan kacamata bulat besarnya. Ia melirik teman sekelasnya yang memperhatikan.
"Aku nanti mau ulangan, aku mau fokus belajar."
"Yaudah, kita bisa belajar bersama."
Mendengar itu, ingin rasanya Bianca menghantukkan kepala ke dinding. Gadis itu memijat keningnya merasa pusing.
"Dra, jurusan kamu itu IPA, ga ada pelajaran sosiologinya."
"Emang cuma anak IPS yang boleh belajar sosiologi?"
"Serah kamu deh." Bianca menyerah. Ia menidurkan kepalanya di meja.
Jendra kemudian tersenyum geli. Ia mengusap rambut bewarna hitam yang tengah dikuncir kuda itu.
"Katanya mau belajar? Bangun, aku temani kamu belajar."
Bianca memutar matanya, tetapi ia tak berani menolak. Gadis itu dengan patuh mengambil buku catatannya.
Bel masuk berbunyi membuat beberapa anak kelas Bianca mulai memasuki kelas. Mereka kemudian bergerak canggung saat menyadari Jendra masih berada di kelas.
"Dra, bel udah bunyi. Kamu ga balik ke kelas?" Bianca menegur. Jendra yang sedari tadi asik bermain game mendongak.
"Ntar lagi deh, lagi seru."
"Dra," bujuk Bianca pelan.
"Iya, aku sayang kamu."
Bianca memejamkan matanya menahan emosi. Ingin sekali Gadis itu menyeretnya keluar kalau ia bisa. Menghadapi Jendra butuh kesabaran yang ekstra. Karena Jendra tak pernah mau mengalah dan tak pernah salah.
"Eh? Yo Bang Jen!" Sapa seseorang menepuk bahu Jendra. Jendra mengumpat dan hampir saja meninju Febri. Cowok itu mengangkat tangannya, "Selow Bang, selow."
"Selow, selow! Gue kalah tuh!"
Febri menggaruk tengkuknya. "Ya sori Bang." Ia kemudian melirik kearah Bianca. "Pantes tadi ga ikutan main basket, ngapelin ceweknya toh."
Jendra mengangkat bahu tak membalas. Ia beralih menatap pacarnya. "Kamu kenapa?"
"Kamu kapan baliknya sih? Itu Febri kasian mau duduk."
Jendra mengangkat sebelah alisnya. "Kok kamu kayaknya pengen banget Febri duduk disini? Kamu suka sama dia? Iya?!"
Bianca menarik nafas pelan. Tuh kan, mulai keluar sifat cemburu ga jelasnya.
"Bukan gitu. Maksudnya aku, bel kan udah bunyi. Nanti kamu terlambat masuk ke kelas. Kelas kamu kan jauh dari sini, Dra." Bianca sebisa mungkin menjelaskan.
Jendra tersenyum mendengar itu. Tangannya terjulur mengacak rambut Bianca. "Aku senang deh kamu perhatian gitu. Yaudah aku balik dulu ya, aku sayang kamu," pamitnya seraya mengecup puncak kepala gadis itu.
Setelah Jendra menghilang di balik pintu, badan Bianca meluruh seketika. Gadis itu merutuki dirinya yang sangat lemah di hadapan Jendra.
"Betah juga lo sama dia." Febri berkata santai sambil menarik kursinya mendekat ke meja Bianca. "Setau gue, dia ga pernah bersikap manis ke mantannya. Cuma ke elo, Bi."
"Diem lo," sahut Bianca ketus.
"Lah, emang bener." Febri merogoh choky choky di sakunya.
"Eh, nanti jadi kerkom di rumah lo?"
Bianca mengangguk malas. Paling nanti Jendra akan memarahinya karena membawa Febri ke rumahnya.
"Kenapa? Lo takut Bang Jendra ngamuk? Udah santuy, sama gue kok," Tebak Febri begitu saja. Cowok itu jadi merasa kasihan dengan gadis itu.
"Gue ga ngerti sih, Feb. Kenapa harus gue? Apa menariknya sih gue?"
Bianca tak habis pikir, dari sekian banyaknya cewek cantik dan menarik, kenapa harus dia? Kenapa Jendra milih dirinya yang terlampau biasa? Yang ga menarik sama sekali?
Febri meletakkan choky choky di dagu, memicingkan matanya melihat Bianca.
"Elo imut kok. Gue suka pipi lo yang tumpah itu. Apalagi badan lo mungil, jadi jatohnya gemesin." Febri kembali berpikir untuk menilai Bianca. "Elo juga cuek, bodo amatan, mungkin itu yang buat Bang Jendra suka sama lo."
Bianca merengut mendengar penuturan Febri. "Alasan lo ga masuk akal."
"Ya itu kan menurut pandangan gue." Febri bergidik kecil. "Lagian lo kenapa ga coba buat nerima aja sih?"
Bianca tak menjawab. Ia menarik nafas pelan. Andai saja Febri tau kelakuan Jendra sebenarnya. Pasti Febri akan berada di pihaknya.
Cowok yang bernama Jendra Yadrian Putra itu egois, tempramen, dan semua permintaannya harus dituruti. Ia selalu seenaknya, suka memaksakan kehendak dan sama sekali tidak mau mendengarkan pendapatnya.
Bayangkan saja betapa sulitnya Bianca menghadapi seorang Jendra yang selalu mengucap sayang padanya. Cowok yang selalu bersikap manis di depan umum padahal sebenarnya hanya tukang paksa.
Sudahlah, otak Bianca rasanya mau pecah. Ia mengambil buku catatan sosiologinya. Memilih untuk belajar mempersiapkan ulangan.
~*~
Aku udah nunggu di parkiran, Kamu dimana?
Jendra mengernyit menatap pesan yang ia kirim sekitar sepuluh menit yang lalu. Ia mendecak kecil, badannya sudah berkeringat kepanasan menunggu Bianca sedari tadi di atas motor.
Kemana gadis itu?
Jendra segera mencari kontak Bianca, berniat ingin menelpon. Namun niatnya ia urungkan saat melihat batang hidung gadis itu muncul.
Bianca di ujung sana, tengah melambaikan tangan ke Febri. Mereka mengucap salam perpisahan yang membuatnya jengkel.
"Apa maksudnya sampai ketemu lagi ha?" Serbu Jendra dengan pertanyaan saat gadis itu sudah sampai di hadapannya.
"Hah?" Balas Bianca bingung.
Jendra mendengus, "Maksud sampai ketemu lagi apa? Aku tadi dengar." Cowok itu kemudian menatap Bianca sebal. "Kamu kemana aja aku udah nunggu dari tadi."
"Oh itu, maaf, aku tadi piket. Terus nanti Febri mau kerkom ke rumah aku, mau ngerjain ppt." Bianca menatap Jendra was was takut cowok itu akan marah.
"Berdua aja?"
Bianca mengangguk pelan. Jendra langsung menatap gadis itu tajam. "Kamu gila ya? Mau kerkom atau mau selingkuh? Pake berdua segala. Ga ada, ga ada."
"Kamu ga bisa gitu dong, Dra. Ini kan tugas aku."
Jendra memicingkan matanya. "Kok aku curiga ya, kalo kamu seneng bisa sekelompok sama dia?"
Bianca memutar kedua bola matanya mendengar itu. "Terserah kamu, deh. Aku capek. Kamu mau ngantarin aku pulang atau nggak?"
"Aku nanti ga jadi main basket, aku mau nemenin kamu kerkom aja," ujar Jendra memutuskan. Ia menyodorkan hoodienya. "Pakai ini, matahari nyengat banget."
Bianca hanya diam saat Jendra memasangkan hoodie. Ia menatap Jendra datar, tak berusaha membujuk cowok itu, padahal jelas Jendra tengah merajuk dan minta dibujuk.
~*~
KAMU SEDANG MEMBACA
JENDRABI
Teen Fiction"Heh lo, yang dikuncir! Jadi pacar gue ya!" Bianca mengerjapkan mata. Ia melirik sekitar, menyakinkan bahwa dia yang ditunjuk. Bianca merasakan tangannya mulai mendingin menyadari seluruh perhatian terpusat padanya. "Maaf Kak, saya ga bisa." Cowok i...
