Repost
Sudah sebulan ini aku hidup sendiri di sebuah indekos berukuran 3×4 meter. Hanya Marta yang menemani kesendirianku. Gadis berkulit seputih porselen itu sering menginap di tempatku. Terutama saat weekend, di mana kami mendapat jatah libur dari kantor. Biasanya kami menghabiskan waktu bersama untuk menonton drama Korea terbaru atau pun sekedar mengobrol tentang berbagai hal.
Tapi tidak untuk weekend kali ini, Marta akan mempersiapkan keperluan pernikahannya dengan Simon. Kami berpelukan sewaktu di parkiran tadi dan gadis itu meminta maaf karena tidak bisa menemaniku kali ini. Aku mengatakan jika aku akan baik-baik saja meski kurasa akan kesepian di dalam kamar kos seorang diri. Salahkan aku yang tumbuh menjadi si introver. Yang lebih suka menutup diri dari pada berbaur dengan teman satu indekos lainnya.
Hujan turun cukup deras membasahi tiap jengkal tanah yang menguarkan aroma khas. Kilatan petir bersahutan di langit yang kian menggelap. Hari masih sore, tapi cuaca gelap membuatnya seperti malam. Aku baru saja sampai di , tepat saat hujan turun menyapa bumi.
Setelah membersihkan badan dan mengisi perut, aku berbaring menatap langit-langit kamar, ditemani suara gemercik air hujan yang entah mengapa mengantarkanku pada kesedihan mendalam.
Di sini, di ruangan sempit ini, aku sendiri. Benar-benar merasa sendirian. Tak ada yang tahu aku tinggal di tempat ini. Orang tuaku, mertuaku, Adi maupun Melati. Mereka tak ada yang tahu. Hanya Marta.
Aku sengaja tak memberitahu orang tua kami. Dan Adi yang konon statusnya suamiku, sama sekali tak menghubungiku sejak pertengkaran kami malam itu. Sedangkan Melati beberapa kali menghubungiku, memintaku untuk pulang ke rumah dan meminta maaf atas nama Adi.
Aku tak menggubrisnya. Untuk apa aku kembali ke sana, sedangkan suamiku sendiri sama sekali tak mencari keberadaanku.
Akhirnya rasa kantuk menyerang. Aku tertidur dengan air mata yang telah mengering untuk beberapa saat. Dan sebuah suara ketukan pada pintu kamar membangunkanku.
Siapa?
"Assalammu'alaikum."
Dengan malas aku membuka mata dan menjawab salam dengan suara pelan.
"Assalammu'alaikum." Suara laki-laki yang tak asing di telingaku kembali mengucap salam.
Aku meraih kerudung lalu memakainya. Dan melangkah menuju pintu. Kuputar lubang kunci dan menarik gagang pintu. Detik selanjutnya pintu terbuka.
Ferdi. Laki-laki yang di beberapa bagian bajunya basah berdiri di depanku dengan badan menggigil.
"Ferdi. Ka-kamu ngapain di sini?"
"Aku ingin bicara."
Setelah mempersilakannya duduk di teras, aku masuk ke dalam kamar untuk membuatkannya teh hangat dan memberikannya handuk. Tempat kosku terdiri dari enam belas pintu dengan kamar saling berhadapan. Dan lorong di depan kos kami memang dijadikan teras untuk menerima tamu. Sehingga, tamu tidak perlu masuk ke kamar.
Dan di sini kami sekarang. Duduk bersisian dengannya di sebuah kursi panjang terbuat dari anyaman bambu.
Hujan telah berganti dengan gerimis kecil. Kami masih sama-sama diam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
Suasana kos nampak lengang. Hanya terlihat dua gadis yang tadi sempat menyapa kami. Mereka baru saja pulang kerja.
"Ada apa?" tanyaku memecah keheningan di antara kami. Setelah Ferdi menyesap tehnya dan mengeringkan rambut dengan handuk yang kupinjamkan.
"Kenapa nggak cerita?" tanyanya seraya menatapku lekat.
"Tentang apa?" Aku tahu arah pertanyaannya, tetapi entah mengapa justru aku kembali bertanya padanya, bukannya menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orang Ketiga (TAMAT)
RomanceKami baru menikah sebulan lalu karena perjodohan. Dan suamiku baru saja mengatakan akan menikahi kekasihnya. Meski belum ada cinta di antara kami, tapi bolehkah aku mengatakan jika aku terluka? Anyelir 💔 16032019