Prolog

30.1K 2.7K 156
                                    

Aroma kopi menguar di indera penciumanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aroma kopi menguar di indera penciumanku. Harum dan membuat bersemangat. Uap panasnya mengepul di atas cangkir hitam yang tersaji. Riak airnya meminta untuk segera dicicipi.

Seperti kebiasaanku dua bulan ini, aku dan dia ada di sini. Udara masih terasa lembab karena hujan baru saja mendera. Jalanan masih terlihat licin. Orang-orang berlalu lalang dengan payung di depanku. Bahkan embun pagi belum mau beranjak dari jendela yang menghamparkan pemandangan di luar sana.

Kuangkat cangkir hitam yang ada di atas meja kayu ini. Menyesap rasa pahit kopi yang sukses membuat aku tersenyum. Rasa pahit kopi membuat aku bersyukur karena hidupku lebih pahit dari ini.

Kuhembuskan nafas yang terasa dingin. Merapatkan jaket yang aku pakai dan sekali lagi menegakkan diri dan mulai berkonsentrasi dengan layar monitor di depanku. Aku harus kuat.

Jariku mulai menari di atas keyboard. Merangkai kata demi kata. Hanya saja setiap tulisan yang aku rangkai sudah menjadi paragraf pasti aku hapus kembali.

Mengerjapkan mata dan mengalihkan tatapan. Diya ada di sana. Yang selalu setia menemaniku dalam diam. Dalam kesibukan masing-masing. Detik demi detik bahkan puluhan menit berlalu. Tapi, Diya tetap diam dan hanya menatapku jika aku membutuhkan kopiku lagi. Dengan sigap Diya menghidangkan secangkir kopi hitam lagi untukku. Itu sudah menjadi rutinitas. Sejak aku pindah ke kota ini. Kota yang asing untukku awalnya. Tapi mampu mengenyahkan luka yang sudah menganga lebar.

Dering ponselku membuat aku teralih. Dengan malas aku mengangkatnya dari atas meja di dekat cangkir kopi. Aku mengamati orang-orang yang berlalu lalang di depan cafe ini. Sebuah cafe dengan warna sederhana, hitam dan putih.

"Halo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Halo..."

Kutempelkan ponsel di telinga. Lalu mengangkat cangkir kopi lagi tapi mengernyit saat menatap kosong isinya.

Aku langsung menatap ke Diya yang sedang mengamatiku dari balik meja barnya. Pria yang selalu menguncir rambutnya. Dengan piercing di alis kanannya dengan anting kecil.

Tapi kali ini Diya membuatku kecewa, karena menggeleng. Aku memberengut lalu fokus kepada ponsel di telingaku.

"Aya, kamu nggak bisa gantungin kita. Novel kamu kejar deadline dan kamu sejak 2 bulan yang lalu menghilang. Draftnya saja belum kamu kirim ke editor."

Secangkir kopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang