The Boy Who Read Words - 2

1.1K 169 7
                                    

Dua tahun berlalu dan Wonwoo telah sangat berubah saat dia mulai memasuki masa remajanya. Terlihat jelas kalau dia bukan lagi anak kecil, dia yang tidak lagi tersenyum pada orang asing, atau mengatakan pada setiap orang tentang sifat terbaik mereka untuk menaikkan kepercayaan diri mereka. Sebaliknya, dia berdiri sebagai bocah berambut gelap yang pandangan hidupnya terlalu optimis.

(Tidak ada tempat di dunia ini untuk anak yang hidupnya terlalu bahagia, pikirnya masam.)

Namun, dia berhasil menjalani hidupnya hanya dengan beberapa benturan dan goresan. Dia tidak lagi menunjukkan perasaannya yang sebenarnya, dan sebagai gantinya, dia menjadi berhati-hati dengan setiap orang yang dia ajak bicara, dia berpura-pura merasa nyaman di sekitar teman-temannya namun tidak pernah sepenuhnya mempercayai mereka. Dia selalu tenang dan bijaksana namun kadang-kadang dia terbuka dan cukup ceria untuk membuat orang lain tidak mempertanyakannya, Wonwoo berhasil baik-baik saja dengan tidak pernah membiarkan kata-kata yang menggantung itu menipunya lagi.

Tiba-tiba, sebuah jentikan jari membuyarkan lamunannya dan dia berkedip beberapa kali, menarik kepalanya ke belakang karena terkejut akan gerakan yang cepat dan penuh kekerasan itu. Matanya beralih untuk menatap sahabatnya yang duduk di sampingnya (atau, yah, seseorang yang memproklamasikan dirinya sendiri untuk menjadi sahabat Wonwoo tanpa meminta pendapatnya dahulu). Seungkwan, seperti yang diharapkan, dia terlihat kesal.

"Apa kamu mendengarkanku?" dia berteriak, "Dan apa kamu bahkan berniat memakan makanan itu?"

Mata Seungkwan melihat sepiring makanan yang terletak di depan Wonwoo, tetapi Wonwoo tidak mengikuti pandangannya yang menuju ke arah kue tar yang masih utuh seperti saat dia memesannya. Seungkwan menyilangkan lengannya di depan dadanya lalu membusungkannya, dan dagunya berkerut karena merasa kesal, tetapi Wonwoo berpikir bahwa itu hanyalah hal biasa, karena separuh hidup Seungkwan dihabiskan dengan merasa kesal pada orang lain.

Seungkwan benar-benar tidak pernah berubah sejak mereka masih anak-anak hingga sekarang. Biasanya kehidupan kuliah bisa mengubah kepribadian seseorang dengan memiliki kepribadian terbaik yang seharusnya dimiliki oleh seorang anak laki-laki Seoul, tetapi Wonwoo senang karena Seungkwan tidak pernah membiarkan kehidupan kuliahnya mempengaruhinya. Yaitu bahwa dia masih pemarah seperti sembilan tahun lalu.

"Pertanyaan apa yang harus aku jawab dulu?" Wonwoo bergumam pelan, tapi mata Seungkwan menatapnya, jadi tentu saja itu berarti bahwa Seungkwan mendengarnya. Wonwoo menahan nafas dan bernafas dalam kesakitan ketika tangan temannya dengan cepat memukulnya di bagian belakang kepalanya, dan hidungnya hampir berbenturan dengan meja. Dia menatap Seungkwan sekilas saat dia mendorong kue tartnya ke samping agar hidungnya tidak dipenuhi krim, jika saja nanti dirinya melakukan sesuatu yang membuat Seungkwan memukulnya lagi dalam lima menit ke depan.

"Jangan berani-beraninya kamu berbaikan denganku." Seungkwan memperingatkannya dan mengayunkan jarinya dengan cara yang sangat keibuan hingga membuat Wonwoo hanya bisa memutar matanya. Dia terlalu menjadi sangat 'Bersemangat'. Meskipun Seungkwan biasanya benar-benar energik, selama ujian dia justru menjadi sebaliknya. Wonwoo bertanya-tanya di mana peringatan itu ketika dia menerima kemampuan bodoh ini.

(Perhatian: Kata-kata yang menggantung itu tidak selalu benar.)

"Bukankah kamu harus belajar untuk ujian jam 9 pagi besok?" Seokmin bertanya, dan dia hanya menyeringai lebar ketika mata Seungkwan langsung mengarah menatap ke wajahnya dan menyipit. Mata Wonwoo mengikuti mereka dengan malas saat dia mengambil secangkir kopinya dan meminumnya.

“Aku sedang mengambil istirahat yang aku butuhkan sekarang." Seungkwan menggerutu seolah-olah alasan itu cukup untuk membela fakta bahwa dia telah menunda belajarnya selama seminggu penuh. Mata Seokmin bergerak dengan gembira.

The Boy Who Read Words - MeanieWhere stories live. Discover now