Sebelas

18.7K 1.8K 110
                                    

• • •

Setelah kejadian hari itu, gue mengalami syok ringan dan suhu tubuh gue menurun drastis sehingga menyebabkan gue absen 2 hari ini.

Soal Riko, gue nggak tau pasti apa yang terjadi. Tapi, kata Reta and the geng. Dia mendapat hukuman skorsing yang nggak gue tau berapa lama. Entah apa yang merasuki Kepala sekolah sehingga cuma memberikan hukuman seperti itu. Jujur, gue nggak terima.

Tapi ya, itulah yang gue dapat. Mungkin karena dia sudah kelas 3. Sangat di sayangkan untuk di keluarkan dari sekolah. Gini-gini gue juga punya hati nurani untuk orang yang udah jahat sama gue. Nanti kalo dia di keluarin, dia bakal susah buat dapat pekerjaan. Kan susah ntar masa depannya.

Ok, itu nggak penting sekarang.

Sekarang yang lagi gue pikirin adalah kejadian dimana gue yang spontan memeluk Zeno begitu aja. Gue nggak tau apa yang gue pikirin. Gue reflek ngelakuinnya karena merasa aman setelah kehadirannya.

Gue tersadar setelah Zeno melepaskan pelukan gue dan mengahajar Riko sampai akhirnya ia meminta maaf dan berujung dengan skorsing nya.

Dan setelah itu, gue nggak mendapat kabar apa-apa lagi dari Zeno setelah dia mengantar gue ke rumah sakit. Sudah dua hari ini juga, gue nggak ngeliat batang hidungnya yang biasanya selalu muncul di hadapan gue.

Gue nyariin dia bukan berarti gue udah luluh ya karena dia udah nyelametin gue. Gue cuma pengen ngucapin terimakasih aja. Bagaimanapun dia udah mau nyelamatin gue yang statusnya adalah musuh bagi dia.

"Hoy." suara seseorang yang gue kenal persis orangnya.

Gue sontak menoleh ke arah balkon kamar gue dan mendapati sosok Zeno yang tersenyum dengan tangan yang dilipat di dadanya. Gue turut tersenyum melihatnya.

"Belum tidur lo? Udah mau tengah malem nih. Biasanya lo udah tidur jam segini." Ujarnya lalu berjalan mendekat ke arah gue. Gue yang mendengar itu mengerinyit bingung.

"Tau darimana lo, gue biasanya udah tidur jam segini?" Tanya gue.

Dia nggak langsung jawab, dan malah duduk di samping gue dan bersender dengan senderan ranjang.

"Ya tau aja." Ujarnya sambil mengedikkan bahu.

"Gimana keadaan lo?"

Mendengar pertanyaannya, kerutan di dahi gue bertambah. Sikapnya berbeda dari Zeno yang biasanya. Ini aneh, sangat aneh. Makanya dengan pikiran begitu gue memicingkan mata menatapnya.

"Tumben lo nanya-nanya keadaan gue. Biasanya juga lo selalu ngebuat keadaan gue buruk." Ujar gue yang masih menatapnya curiga.

Zeno terdiam sedikit lama, sampai akhirnya dia mengatakan kata yang buat gue kembali mengerinyit.

"Maaf"

"Maaf?"

Zeno menghela napasnya, lalu merubah posisinya yang tadinya bersandar. Kini menjadi berbaring dengan posisi terlentang dan mata yang menatap langit-langit. Gue yang melihat itu cuma bisa menunggu apa yang akan dia ucapkan.

"Maafin gue karena waktu itu ninggalin lo sendirian di kamar dia." Ucap Zeno akhirnya.

Mendengar itu, gue langsung mengerti arah perbincangan kali ini. Dan ya, gue merasakan keseriusannya tadi. Jadi dengan begitu, gue turut menyamakan posisi gue seperti Zeno dan menatap langit-langit kamar.

"Nggak. Itu bukan salah lo. Ini semua karena gue terlalu lemah jadi cowok. Seandainya gue--"

"Nggak. Lo nggak lemah."

Gue sontak menghadapkan kepala gue menatap Zeno yang memotong kalimat gue dan mengatakan kalimat yang gue nggak mengerti.

"Maksud lo?" Tanya gue.

Zeno berhenti menatap langit-langit dan membalik badannya sehingga kini dia menatap gue dengan senyum tipis yang ia keluarkan.

"Lo itu nggak lemah. Buktinya lo selalu kuat saat gue menghina lo dari pertama kita bertemu. Jadi itu bukan salah lo, ini salah gue yang udah dengan begonya ninggalin lo di kamar macan." Ujarnya yang ngebuat gue kembali mengingat kenangan pertama gue saat ketemu sama dia.

Dan gue berdecih mengingatnya,

"Itu beda urusannya. Lo ganggu gue dengan mulut yang masih bisa gue tahan. Sedangkan waktu itu, di butuhkan tenaga untuk melindungi diri gue sendiri. Jadi ini--"

"Ssstt. Udah jangan di bahas." Ujarnya dengan jempol yang menempel di bibir gue.

Gue terdiam menatap Zeno yang juga menatap gue. Gue terdiam bukan karena jempol Zeno yang menempel di bibir gue, melainkan karena dada gue yang berdetak lebih cepat saat mata gue bertemu mata Zeno.

Gue berkedip beberapa kali untuk menyadari apa yang sebenernya terjadi. Gue tau kenapa dada berdetak seperti ini. Tapi apa mungkin?

"Ngantuk?" Tanyanya tiba-tiba. Gue mengerjap dan menggeleng setelahnya.

Dia cuma tersenyum lalu melepaskan jempolnya yang sempat mengusap bibir gue dan setelah itu Zeno mengembalikan posisinya menjadi telentang mengahadap langit-langit kamar.

"Maafin gue juga, karena dua hari ini nggak jenguk lo. Gue denger dari Mama lo mengalami syok ringan. Gue pengen banget ngeliat lo saat lo sadar pertama kali. Tapi ada hal yang harus gue lakukan dua hari ini. Jadi, baru malam ini gue bisa jenguk lo. Dan gue bersyukur karena nggak ada masalah serius dengan lo." Ujarnya dengan penuh perasaan.

Gue yang mendengar itu sempat tersentuh, namun gue segera menggeleng setelah menyadarinya. Gue mengerinyit, lalu bangkit dari tidur gue dan duduk menatapnya.

"Sikap lo kok jadi beda begini. Apa karena kejadian waktu itu? Lo kasian sama gue?" Tanya gue dengan nada biasa yang sering gue keluarkan untuknya.

Zeno turut menatap gue tanpa ada tanda-tanda dia akan ikut duduk untuk membahas sikapnya yang beda ini.

"Kasian? Gue rasa nggak. Gue cuma lebih merasa gagal." Ujarnya, lalu dengan gerakan perlahan dia menyusul gue duduk dan menatap gue tepat di mata.

Gue menghembuskan napas, "Gue nggak ngerti. Maksud lo merasa gagal itu kayak gimana?" Ujar gue.

Dia nggak langsung menjawab dan malah nyempetin buat mengelus kepala gue dengan tangannya yang kalo gue inget tangan itu bekas dia coli. Tapi ntah kenapa kali ini gue nggak merasa jijik.

"Gue merasa gagal untuk ngelindungin lo." Ujarnya yang membuat gue kembali terdiam beberapa saat menatapnya.

"Gue udah gagal melindungi sesuatu yang harusnya akan menjadi milik....maksud gue melindungi lo sesuai amanat Bunda." Ujarnya, lalu dengan gerakan cepat Zeno menarik tangannya dan bersandar tanpa menatap gue yang udah menatapnya bingung.

"Bunda ngasih amanat itu ke elo?" Tanya gue. Zeno mengangguk.

"I-iya." Ujarnya, dan kali ini giliran gue yang mengangguk mengerti.

"Oh, gue ngerti. Jadi lo bersikap kayak tadi karena merasa gagal untuk menuhin amanat Bunda yang di berikan sama elo?" Tanya gue.

Dia menatap gue lalu menggeleng, namun sedetik kemudian dia mengangguk. Gue mengerinyit menatapnya.

"Pokoknya gitulah. Udah jangan tanya-tanya lagi. Tidur sana, udah tengah malem ini. Besok sekolah kan?" Ujarnya. Gue mengangguk sebagai jawaban.

"Yaudah tidur, gue juga mau balik. Besok lo bareng gue berangkat sekolahnya. Gue bakal pagi-pagi kesini, ok!" Ujarnya, lalu tanpa menunggu balasan dari gue, Zeno bangkit dari kasur gue dan berjalan ke arah balkon hingga akhirnya sosok Zeno hilang setelah ia menutup pintu itu sebelumnya.

Gue yang melihat itu cuma bengong dan mengerjap beberapa kali untuk mengerti apa yang barusan terjadi dan apa yang barusan gue bicarakan dengan Zeno.

Tapi tetep jawaban yang sama yang gue tangkap. Zeno, merasa gagal karena amanat Bunda yang nggak terpenuhi. Dan.....

Gue lupa untuk ngucapin terima kasih sama dia. Sialan.

• • •

My Enemy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang