Bulan menundukkan kepalanya di halte bus. Ia kesal. Ia marah. Ia kecewa. Dan ia .... cemburu. Apakah dia salah? Salahkah jika ia cemburu?
Selama ini, Bumi selalu membuatnya nyaman. Bahkan, kelewat nyaman tepatnya. Namun, dia juga harus terima, kalau kenyataannya, masa lalu itu masih terus membayangi Bumi. Dan itu, terasa sangat sangatlah berat bagi Bulan. Memangnya, siapa yang tidak akan keberatan jika cintanya harus dibagi dua?
"Lo nunggu jemputan atau angkot?" Pertanyaan tanpa basa-basi itu hinggap di indra pendengarannya begitu saja. Bulan mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang bertanya. Dan saat melihat sosok itu, Bulan menghela napasnya kecewa.
"Ditanya malah diem!"
Bulan masih dalam mode diam. Ia tidak akan bicara pada cowok songong yang hampir menabraknya ini. Jadi, ia mengalihkan pandangannya seolah Bintang tak terlihat. "Sejak kapan halte sekolah ini angker?"
Bintang mengerutkan keningnya bingung. Angker? Butuh waktu beberapa menit barulah Bintang mengerti pertanyaan ambigu tersebut. "Gue bukan hantu, Bulan!"
"Sejak kapan hantunya kenal gue? Lagian, mana ada hantu yang ngaku. Yang ada hantu teriak hantu," ucap Bulan tanpa menoleh ke arah Bintang dan masih berlagak mencari sesuatu.
"Maling teriak maling!" Kali ini, Bintang berteriak frustasi. Cewek ini benar-benar aneh. Baru kali ini, ada cewek yang berani memancing emosinya, selain dengan rayuan.
Tak lama kemudian, tatapan Bulan terkunci. Terkunci pada dua orang di atas motor yang baru saja keluar dari sekolah. Dan seketika, dadanya terasa sesak. Terlebih, ketika motor itu berhenti tepat di belakang motor Bintang.
Bintang yang menyadari keanehan itu, langsung menoleh ke arah pandangan Bulan dan mendapati Bumi yang sedang membonceng Zara. "Jalang," gumam Bintang tanpa dapat didengar siapa pun.
"Lan, belum pulang?" tanya Bumi kepada Bulan yang masih sibuk menatapnya. Tepatnya, menatap tangan Zara yang melingkar di perutnya.
"Lan?" panggilnya sekali lagi. Dan Bulan langsung menoleh dengan tatapan sendu, bahkan bibirnya tak kuasa untuk mengucapkan satu huruf pun. Alhasil, ia hanya menggeleng.
"Lan, sorry."
Bulan hanya menatapnya lurus tanpa berkata apa pun. Tatapan yang tentu saja membuat Bumi merasa bersalah.
"Bulan! Jadi bareng gue gak?" ujar Bintang yang langsung mengalihkan perhatian semua orang di sana. Termasuk Zara.
"Maksud lo apa?" tanya Bumi yang kentara bahwa ia tidak suka.
"Menurut lo?"
"Lo gak boleh sentuh-sentuh Bulan! Dia milik gue!"
Dan saat itu juga, Bulan rasanya ingin menangis. Tapi, Bintang justru tertawa mengejek kakak kelasnya itu. Ia berjalan mendekat seraya berkata, "Apa? Milik lo? Yang di belakang lo itu, milik lo juga?"
Bumi menengok ke belakangnya, dimana Zara juga sedang menatapnya. "Maksud lo?"
"Lo bilang Bulan itu milik lo, tapi jelas-jelas lo lebih milih ngebonceng cewek lain dibanding Bulan. Cowok macam apa lo?"
Bumi hendak turun dari motornya, namun pergerakannya terhenti bersamaan dengan Bulan yang berdiri dan berteriak dengan keras. "BUMI CUKUP!!!"
Saat itu juga, Bumi menatap Bulan yang berjalan mendekat dengan air mata bercucuran. Bulan mendorong badan Bintang dengan tangannya dan berkata, "Gue bareng lo."
Bintang tentu saja tersenyum penuh kemenangan. Sedangkan Bumi, ia baru saja merasa kecewa. Kecewa karena Bulan memilih untuk pulang bersama Bintang. Tapi, ini juga salahnya. Salahnya karena lebih memilih pulang bersama Zara.
Tatapannya tak pernah luput dari Bulan yang terus menjauh bersama dengan Bintang. Sakit. Mungkin hatinya sedang hancur saat ini.
"Bumi, ayo jalan," bisik Zara dengan lembut di telinga Bumi yang sudah tidak memakai helm.
Dan detik itu juga, Bumi kembali ragu. Dan ia sadar, ia terlalu egois untuk menganggap Bulan itu miliknya.
...
"Lo berani banget manggil Bumi gak pakai kak," ucap Bintang setelah sekian lama memilih untuk diam.
"Lo juga sama."
Bintang hanya menyunggingkan senyuman yang entah kenapa alasannya. Yang jelas, ia sedang merasa bahagia saat ini.
"Gue boleh tanya?"
"Apa?"
"Lo pacaran sama Bumi?"
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Bintang sudah menyerah. Karena Bulan tak kunjung menjawab. Mungkin, cewek itu memang tidak mau menjawab. Dan Bintang tidak masalah. Toh, meski mereka sudah jadian pun, ia akan tetap mendekati Bulan.
"Enggak."
Bintang cukup terkejut mendengar jawaban ketus super singkat yang dijawab super lama itu. Astaga, bolehkah ia bernapas lega sekarang?
"Kalau gue suka sama lo, boleh?"
"Memangnya lo bisa ngendaliin hati lo buat milih mau suka dan cinta sama gue atau enggak?"
"Enggak."
"Itu artinya gue gak punya kendali atas hati lo itu."
"Siap ... berarti boleh."
"Tapi pasti gue tolak," jawab Bulan kelewat cepat membuat Bintang harus mencerna kalimat itu baik-baik.
***
Aku emang bikin ceritanya pendek-pendek. Sorry yaaa
Jangan lupa vote sama comment nyaa
More info:
My instagram: @zkhulfa_ (dm aja, ntar aku follback :v)❤

KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi, Bulan, Dan Bintang (Complete)
Teen FictionIni kisah tentang Bumi, Bulan, dan Bintang. Kisah yang mungkin akan membuat kalian bernostalgia ke masa-masa SMA. Tentang kehidupan yang nyata adanya diantara kita. Tentang tawa yang melebur perih. Tentang hari-hari yang menyimpan banyak misteri...