Orang tuaku hanya ingin menaruh beberapa barang bawaan kami dan menjemput kakek-nenek sebelum kami pergi menemui Miss Akagi. Aku tahu kondisi cukup buruk ketika orang tuaku menolah bantuan untuk membawa barang bawaan kami. Namun tetap saja, berada jauh dari Tokyo dan Saitama, di mana aku mengalami semua pengalaman mengerikan itu, membuatku merasa santai.

Ketika menunggu mereka di dalam mobil, aku hanya duduk menyilangkan kaki dan menatap keluar. Tiba-tiba saja leher kembali terasa sakit. Rasa sakitnya amat tajam di sepanjang lingkaran di leher. Intensitasnya yang luar biasa membuat rasa sakit yang dulu kurasakan seperti gelitikan. Tanpa berpikir, tanganku segera meraba luka di leherku tersebut dan merasa shock ketika menyadari bahwa luka itu basah.

Ketika menarik jari-jari, aku melihat lumuran darah.

Melihat darah itu mengalir turun dan menetes dari jemari membuatku tersadar bahwa kenyataan ini terjadi lagi. Tali yang seakan-akan mencekik leher ini semakin erat dan mungkin, tak lama lagi semuanya akan berakhir. Air mata mengalir di pipi ketika menyadari bahwa aku tak lagi sanggup menghadapinya.

Mungkin sulit bagi kalian untuk memahami apa yang kurasakan saat itu, tapi bayangkan jika semua hal buruk ini terus terjadi dan terjadi dalam hidupmu. Setiap kali aku merasa lebih baik, hal yang lebih buruk justru datang. Aku tersungkur dalam depresi karena tak mampu melihat ada jalan keluar dari semua ini. Fakta bahwa tiap kali mencoba memperbaiki keadaan, justru keadaan itu malah bertambah buruk, membuat jiwaku serasa remuk redam.

“Apa gunanya semua ini! Biarkan saja aku mati!” Aku mengigau di tengah tangisan. Keputusasaan kini justru bertambah semakin dalam, hanya beberapa detik setelah tadi aku merasa harapan terangkat oleh tindakan orang tuaku membawa ke sini. Ketika orang tuaku kembali ke mobil bersama kakek-nenek, aku mulai panik. Aku duduk di kursi belakang dengan darah menetes dari leher dan air mata mengalir di wajah.

“Apa yang terjadi?”

“Katakan sesuatu, Nak?”

“A ... aku sudah tak kuat lagi ....”

“Tomohiko, kumohon sadarlah!”

Semuanya berbicara bersamaan dan segalanya terasa terlalu berat bagiku. Aku mulai merasa marah dan akhirnya meledak.

“TUTUP MULUT KALIAN! DIAAAM!!!”

Apa yang harus aku katakan? Mereka tak bisa melakukan apa pun untuk menolong dan sudah jelas bahwa aku juga tak mampu menyelamatkan diri sendiri. Berteriak tak takkan mengatasi masalah dan justru membuat merasa lebih buruk. Aku tahu bahwa tak sepantasnya membentak orang-orang yang lebih tua dariku, tapi aku merasa sangat kacau saat itu. Aku berhenti kerja dan orang tuaku hampir kehilangan banyak uang.

Aku meringkuk di kursi dan mulai menyesal telah kehilangan kendali tadi. Aku telah menyebabkan banyak masalah bagi orang-orang yang kucintai, tapi mereka selalu saja berusaha sebaik mungkin untuk menolong. Memikirkannya sekarang membuatku merasa malu dan aku pantas untuk mendapatkan apa yang terjadi setelahnya.

Ayah tak pernah menaikkan tangannya ke arahku seumur hidupnya. Namun, di saat ia menampar pipiku, rasanya sangatlah sakit. Dan rasa sakit itu membuatku melupakan rasa perih yang menyayat leher. Aku sering bertengkar dengan ayah, tapi belum pernah sekalipun ia lepas kendali dan memukul.

“Minta maaf pada kakek dan nenekmu!” Ia berkata dengan dingin. Entah bagaimana, perbuatan dan perkataannya justru menenangkan. Rasa putus asa sejenak lenyap dan aku mulai bisa menenangkan diriku untuk meminta maaf pada keluargaku. Tekad untuk menyelesaikan semua masalah ini bangkit kembali. Aku kembali menangis ketika melihat kakek menangis dan mulai menyemangatiku ketika kami menuju ke kediaman Miss Akagi. Aku merasa sangat menyedihkan saat itu.

Creepypasta (Mix & Original) Où les histoires vivent. Découvrez maintenant