Kita menjungkirbalikkan fakta bahwa manusia bernapas untuk hidup, bukan manusia hidup untuk bernapas. Napas itu hanya napas, dan hidup adalah hidup.
Mereka berbeda.
Dan Namjoon tahu itu. Ia ingin bernapas untuk hidup, dan bukan hidup untuk bernapas.
Ketika kecil, Namjoon diberi dua pilihan yang sama-sama mencekik. Mati kelaparan atau mati kedinginan? Satu-satunya hal yang Namjoon ingat betul sejak dulu adalah ia tidak memilih keduanya. Sebab, dua-duanya sama sampahnya, dua-duanya sama-sama memberi lilitan panas pada leher Namjoon.
Kim Namjoon kecil hanya tahu satu, yaitu untuk hidup.
Tujuannya hidup, baginya, adalah hidup. Jadi yang harus ia lakukan untuk bertahan hidup adalah makan, bernapas, dan memastikan bahwa hangat di tubuhnya tidak pernah hilang sedetik pun. Di luar dingin memang, dan nahasnya Namjoon selalu menginap di luar.
Namjoon juga masih ingat ketika salju menerjang keras tubuhnya yang meringkuk sendiri, kedinginan, hampir mati. Namjoon masih ingat suasana di mana hanya ada salju, dirinya, dan bangku besi di situ. Namjoon memeluk dirinya sendiri di atas bangku itu dan berharap bahwa pagi akan lekas datang.
Ketika pagi benar-benar sudah mampir dan menggantung di langit-langit, Namjoon bangun dengan es yang menyelimuti dirinya. Separuh bajunya basah kuyup, padahal apa yang dikenakannya hanyalah kemeja lengan panjang yang kumuh dan celana panjang. Tubuhnya menggigil, disapa tawa dari setiap orang yang melewatinya.
Kala itu, Namjoon yang kedinginan memilih untuk bangkit dan tetap bertahan hidup. Ia mengambil makanan, entah dari mana asalnya. Hanya sepotong roti yang berjamur di salah satu sisinya. Namjoon mengupas roti itu, membuang jamur yang ada di bagian kecil dari roti itu, lantas memakannya dengan lahap. Tak ada minum. Hanya ada salju yang terus turun dan turun dan turun tanpa henti.
Kim Namjoon merasakan pening pada kepalanya sehabis menelan roti yang ditemukannya itu. Lantas, secepat mungkin ia menginjak salju menuju toilet umum yang jaraknya agak jauh dari tempatnya berdiri. Tangannya menutup mulutnya kuat, dan yang satunya dikepalkan. Ia mendorong pintu toilet dengan kasar, lalu masuk ke dalam biliknya. Di sana, ia memuntahkan segala isi perutnya. Termasuk cairan asam lambungnya yang masih terasa masam ketika ia mencecap lidahnya.
Lalu ia muntah lagi. Kali ini tak ada roti, melainkan hanya asam lambungnya yang lebih masam lagi.
Hari itu juga, Namjoon berjanji untuk tak memungut roti dari atas salju lagi.
Ketika pagi menjelma jadi malam, Kim Namjoon memutuskan untuk menemani bangku besi yang kesepian itu lagi. Kali ini, Namjoon menyapanya dengan ramah. Mungkin, mungkin saja, mereka akan terus bersama hingga Namjoon tak tahu kapan. "Selamat malam. Biarkan aku menemani malammu yang sepi," kata Namjoon dengan setengah hati. Sebenarnya, ia nyaris mengejek dirinya sendiri--gila, katanya--kalau saja tak ingat bahwa ia membutuhkan bangku panjang itu untuk tidur malam ini.
"Ah, benar saja. Kita berdua memang molekul yang kesepian," Namjoon berkata lagi, kali ini sambil tersenyum rumit. Di wajahnya terdapat sebuah luka yang melengkung, bibirnya. Dan hatinya, entah bagaimana Namjoon harus mengungkapkan apa yang dirasakan hatinya sebab hatinya tidak merasakan apa-apa.
Namjoon kemudian tertawa, kemudian meringkuk di atas bangku panjang yang terbuat dari besi itu.
Ketika pagi mampir lagi, intuisi Namjoon menyuruhnya untuk segera pergi mencari bahan untuk dimakan. Paling tidak sepotong biskuit, atau apa saja yang masih layak untuk dimakan. (Namjoon memiliki trauma pada roti sejak kemarin.) Jadi Kim Namjoon memutuskan untuk pergi ke distrik dekat pelabuhan. Biasanya, ada acara amal di mana orang yang tidak memiliki tempat tinggal diberi makanan secara gratis. Ah, bayangkan betapa nikmatnya bubur kentang dan segelas susu hangat.
Namjoon berjalan ke distrik itu. Kakinya yang beralaskan tiada itu menggesek salju dengan kasar. Telapak kakinya jadi makin mati rasa.
Dan ketika sampai di sana, Namjoon benar-benar mendapatkannya. Semangkok bubur kentang dan segelas susu hangat masuk ke lambungnya yang mungkin sudah keriput.
Tetapi sia-sia, sebab Kim Namjoon lagi-lagi memuntahkan segala isi perutnya. Ada setetes darah yang ikut bersama muntahannya kali ini.
Namjoon, bersama dengan alas kakinya yang tiada itu, kembali ke bangku besi yang kesepian. Namjoon sampai di bangku itu tatkala langit sudah tak lagi bermatahari. Lantas merebahkan diri pada bangku yang kesepian itu lagi, Namjoon tertawa sendiri.
Mungkin, atau memang, lambung Namjoon sudah benar-benar keriput. Dan ia sadar bahwa mungkin, atau memang, semangkok bubur dan segelas susu hangat yang tadi ia muntahkan adalah hal terakhir yang ia muntahkan. Sebab, bertemulah ia dengan gerhana bulan, dan tersenyumlah ia ketika dihujani meteor.
Malam itu, fenomena alam terjadi. Dia, yang tersenyum sambil meringkuk di atas bangku yang kesepian, paham makna hidup.
Di atau dari?
28 Januari 2019*
Ah, oke. Sorry. Ya, sorry. :'D paham maknanya tidak?
Btw, hoshit exposed herself in her instagram at hoshitnii.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dia di Bawah Hujan Meteor
FanfictionDia selalu memuntahkan isi perutnya, hingga suatu hari tak ada lagi makanan untuk dimuntahkan.