Part 19 | Punctum Remotum

107K 9.9K 396
                                    

GLADYS sadar dirinya bukan orang baik. Lihat orang lain sengsara selalu lebih nyenengin ketimbang menyimak pencapaian mereka. Biarpun detik berikutnya lekas menampar diri sendiri supaya berempati, rasa irinya tidak muncul saat ada orang yang bercerita soal ketidakbahagiaan hidupnya.

Beda dengan momen ketika Fareina terang-terangan menceritakan pengalaman liburan ke Bali. She wished it could be hers. Why should everyone be happy when she is not?

Aneh, tetapi nyata. Namun, bukankah itu pertanda bahwa Gladys cuma manusia biasa? Dan mustahil ada manusia yang tidak punya sisi jahatnya tersendiri. Jika mereka terlihat tanpa cela bukan berarti baik seratus persen, melainkan karena mereka pandai menyembunyikannya.

Motif itulah yang membuat Gladys pada akhirnya sepakat dengan Varel. Cowok itu mau memanfaatkannya untuk memanas-manasi Fareina? Fine! Gladys juga bisa balik memanfaatkan Varel.

Ia ingin jadi saksi sejauh mana Fareina tersakiti dengan kedekatan Gladys dan Varel. Cewek yang katanya gebetan dari SMP pasti nyesek, 'kan, lihat gebetannya bersama cewek lain?

"Nih, klepon. Dimakan mumpung belum basi, Kak." Gladys melancarkan jurus pertama. Dengan hati-hati, ia meletakkan mika plastik berukuran sedang. "Ada peraturan enggak tertulis di antara para penjual; dilarang nerima uang dari orang yang kewarasannya diraguin. Bisa bikin dagangan enggak laku. Makanya gue gratisin."

Aslinya, sih, sengaja bangun pukul tiga pagi untuk membuatkannya, tetapi najis banget mengaku demikian. Gengsi tetap yang utama.

Varel mengamati makanan di hadapannya. "Lo yakin ini enggak beracun?"

Senyum Gladys sekonyong-konyong rontok. "Lah, apa untungnya gue ngeracunin Kak Varel?" Ini orang dibaikin sedikit, balasannya super nyelekit. "Yang ada gue ditampol guru-guru. Lo kan murid kesayangan mereka, mana mungkin gue ngeracunin lo!"

Betul juga, Varel baru ingat. Cengirannya tampak. "Makasih, ya." Buku-buku di atas meja gazebo digeser. Ia mulai menyantap makanan buatan Gladys. "Tahu aja gue lagi laper. Mana mungkin nolak jajanan favorit mama gue?"

"Itu yang bikin Kak Varel request klepon di perjanjian? Buat nostalgia?"

"He-em. Dulu, Mama bisa habisin tiga mika kecil klepon sehari. Gue aja sampai enggak dibolehin nyicip." Bak bocah, sudut bibir Varel belepotan gula jawa isian klepon. Gladys membantu mengelapnya pakai tisu.

"Gue kira Kak Varel sukanya daging geprek." Bola tisu dilempar Gladys ke bekas makan Varel. Tinggal sisa ampasnya. "Habisnya sehari-hari lo geprek gue pake rumus, sih."

Pecahlah tawa setan Varel. Fakta ngenes ini memang benar adanya. Cowok smart selalu doyan obrolan yang berbobot.

Nah, masalahnya dalam kasus Gladys, lawannya itu penggemar berat fisika sama langit. Bayangin sendiri, deh, se-spaneng apa Gladys menyimaknya.

"Tekanan berbanding lurus sama gaya. Kalau lo ngerasa hidup lo banyak tekanan, mungkin karena lo kebanyakan gaya. Gaya gitu aja ngeluh."

Ejekan ala fisika, kudu gimana manusia biasa meresponsnya?

Gladys speechless. Dugong satu ini benar-benar, deh... tidak berperikebodohan.

Seolah tidak menyadari rutukan batin lawan bicaranya, Varel mengambil jaketnya dari sandaran kursi. Dengan santainya mengecek jam di ponsel, kemudian mengajak Gladys pergi.

"Bentar lagi bel pulang. Cabut, kuy!"

Kernyitan Gladys bertambah rapat. "Ke mana? Emang materinya udah kelar?"

Heliosentris [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang