-02- Tak Bisa Memiliki

10.9K 1.2K 95
                                    

Beberapa tahun yang lalu ....

"Sakti ... ini bagus, nggak?"

"Sakti ... kalo ini gimana?"

"Sakti ... bagusan mana? Yang ijo apa biru?"

"Sakti ... liat deh, lucuan mana? Ini ... apa yang ini?"

Sakti mendengkus sebal. Untuk kesekian kalinya, ia harus menebalkan telinga agar tak kena semprot omelan Myra.

"Kamu mau ngapain sih, My?" Sakti mengorek lubang telinganya dengan jari kelingking. Berdengung kembali, karena kalimat pertanyaan Myra yang acap kali memanggil namanya berulang-ulang.

"Mau tampil beda aja!" jawab Myra singkat, kemudian membalikan badan membelakangi Sakti menghadap kaca.

"Ck! Tampil beda gimana, sih? Nggak usah aneh-aneh deh." Decak Sakti memunguti kaos Myra yang berserakan di lantai, lalu melemparkannya ke atas ranjang queen size milik gadis berambut sebahu itu.

"Sejak kapan kamu make beginian, My?"

Myra melirik ke belakang tubuhnya, melihat Sakti yang tengah mengamati botol-botol make up yang ada meja riasnya.

Kalau saja Sakti tahu, Myra berubah demi dirinya. Apa mungkin laki-laki akan berkata demikian?

Seumur hidup Myra, cuma Sakti satu-satunya makhluk adam yang dekat dengannya. Kecuali Om Rano, papa Sakti dan papanya sendiri yang sudah pergi kala ia berusia lima belas tahun. Sisanya terdepak otomatis dengan keposesifan Sakti akan dirinya

"Mau lebih feminim, Sak."

Sakti melotot kaget. "Feminim? Yakin banget kamu My?"

Myra mencebik kesal. Tuh, kaaan ... kenyataan selalu tak sesusai dengan ekspetasi yang dibayangkan Myra. Mana percaya Sakti kalau ia bisa berubah menjadi lebih feminim.

"Bisalah. Kenapa enggak?" tanya Myra sewot melemparkan dress yang dipegangnya, tepat mengenai wajah Sakti yang justru tertawa lebar.

"Salah, kalo aku berubah jadi cewek feminim?" Sakti menghentikan tawanya, dan menatap lurus ke arah Myra yang sudah merubah wajahnya menjadi sendu.

Sakti menghampiri Myra yang tengah duduk bersila di atas ranjangnya.

"Kamu kenapa sih, My?"

"Apa salah, kalo aku berusaha menarik perhatian cowok yang aku suka," lirih Myra yang justru membuat Sakti tertegun.

Cowok?

Apa maksudnya?

"My ... kamu lagi jatuh cinta? Sumpah!?" tanya Sakti mencoba menahan tawanya kembali pecah.

Sakti sedikit tak percaya, jika tembakan pertanyaannya tadi tepat mengenai sasaran. Melihat wajah sahabatnya ini berubah sendu.

"Siapa cowok itu?" Sakti berdeham untuk menetralisir sisa-sisa tawanya yang tertahan tadi.

"Bukan urusan kamu!" Myra menyingkirkan lengan Sakti yang bertengger di bahunya.

"Itu urusanku, My. Bilang sama aku, My. Siapa cowok itu. Ia kudu lulus seleksiku dulu, baru bisa deketin kamu."

"Apa hak kamu ngelakuin itu, Sak?" tanya Myra dengan nada tak terima.

"Aku punya hak, My cowok itu kudu bener-bener lulus seleksi aku. Aku nggak mau kamu tersakiti gara-gara cowok itu." Sakti menaikan satu oktaf suaranya.

Myra menatap sengit ke arah Sakti, kemudian memalingkan wajahnya ke luar jendela.

Kamu yang udah nyakitin aku, Sak.

Kalau dia punya hak untuk meluluskann pemuda yang mendekatinya, lalu kenapa ia tak punyak yang serupa.

Kenapa Sakti tak meminta pendapatnya saat ia mendekati Airin.

"Enggak!"

"Iya!"

"Enggak!" pekik Myra. "Kamu minta hak itu, lalu kenapa aku nggak punya hak sama seperti yang kamu ajuin? Kenapa kamu pedekate sama Airin tanpa ngomong dulu sama aku? Terus kamu seenaknya bilang kek gitu." teriak Myra sedikit melepaskan emosinya.

Ada kekecewaan yang tertoreh di sana, ketika tahu Sakti lebih memprioritaskan Airin daripada dirinya. Sakti pun tak ragu-ragu untuk berbohong, hanya demi menghabiskan waktu dengan Airin. Dan berpura-pura tak ada apa-apa yang terjadi.

Tanpa lelaki itu tahu, jika itu semua menyakiti Myra secara tak kasat mata.

Sakti tak jarang memilih pergi begitu ada waktu luang meski sedikit saja, padahal dulu Sakti selalu mencari dirinya. Kini hubungan persahabatan mereka berjarak, kian hari semakin jauh jarak yang membentang.

Sakti tak lagi memperhatikan dirinya, ia lebih memilih Airin untuk menghabiskan sisa waktu pulang sekolah.

Sakti berubah.

Myra menyusut airmatanya yang sudah menggenang di pelupuk, berusaha menahannya agar tak terjatuh. Hampir setiap hari Myra menitikkan airmata, hanya dengan mendengar Sakti yang inilah, yang Itulah. Dan semakin menyesakkan adalah tak ada ia di dalamnya.

Sakti tertegun mendengar luapan emosi Myra.

"Kamu berubah, Sak," lirih Myra berlalu dari duduknya dan memasuki kamar mandinya.

Sakti menatap pintu kamar mandi yang tertutup cukup keras. Myra tahu ia melakukan kecurangan itu.

Lalu sekarang apa yang harus ia lakukan?

Ia akui, jika ia lebih banyak berbohong akhir-akhir ini. Hanya demi berdekatan dengan Airin. Cewek kelas sebelah yang sudah ia taksir semenjak setahun yang lalu.

Butuh keberanian lebih untuk melangkah sampai sejauh ini, hanya tinggal selangkah ia dan Airin akan resmi berpacaran. Hanya menunggu Airin menjawab pengakuan cintanya tempo hari, maka mereka akan menjadi sepasang kekasih.

Dalam cinta sedikit egois tak masalah 'kan? Ia juga remaja pada umumnya. Ingin menikmati kisah kasih di sekolah. Dan saat itulah ia bertemu Airin.

Sayangnya Myra terlalu ketergantungan akan ia. Selalu saja perempuan bertubuh sekal itu bergelayut setiap saat.

Kini saatnya ia sedikit demi sedikit menjauh dari Myra, agar gadis itu tak terlalu bergantung padanya. Agar ia tak melulu bersama sahabat yang sudah ia anggap seperti adik.

Sayangnya, itulah terakhir kali Sakti melihat keceriaan dalam diri Myra. Karena setelah hari itu, Myra selalu menampakkan wajah datarnya dan lebih pendiam.

✩★✩★✩★✩★

Surabaya, 22 Januari 2019.
-Dean Akhmad-

PUPUS (Novela)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang