"Selamat, Mas." Zanna mengucapkan itu tanpa ekspresi apapun.

"Doakan aku, Zan. Semoga semuanya berjalan dengan lancar."

"Aamiin, Mas." Zanna tidak antusias. Ia sendiri bingung harus berdoa seperti apa? Masih mampukah ia mengirim doa lewat lisannya untuk pernikahan orang yang ia cintai?

Kalau hatinya terbuat dari kaca, maka kaca itu sudah retak sejak ia membaca undangan itu. Hanya Tuhan yang tahu hatinya telah hancur. Sakitnya bukan main.

"Zan?" Fajar memanggil namanya.

Zanna mendongakkan kepalanya.

"Kamu baik-baik saja?"

Seulas senyum tercetak di bibirnya, tepat saat itu hatinya menangis. Remuk redam perasaannya.

***

Abah Salim sudah puluhan kali mondar-mandir sejak pulang ke rumah. Ia menemukan pintu rumah tidak terkunci, mobil Zanna diparkir sembarangan, bahkan bagian depan mobil itu terlihat seperti habis menabrak sesuatu. Body depannya memang agak peyot.

Sudah puluhan kali pula Abah mengetuk pelan pintu kamar Zanna. Ia membujuk putrinya agar membukakan pintu kamar. Abah juga bilang kalau malam ini Lintang ingin tidur bersamanya, anak itu sampai merengek didepan pintu. Namun alasan apapun tidak membuat Zanna mau membuka pintu. Ia keras kepala dan masih mengunci diri didalam kamar selama ber jam-jam.

"Zanna, kamu belum makan. Jangan siksa dirimu, Nduk!" khawatir, ibunya ikut membujuk. "Bukan pintunya, Nduk. Ini ibu bawakan makanan kesukaan kamu, mie ayam Pak Dirmo."

Mendengar itu Zanna semakin terisak-isak. Ia mengingat semuanya, kenangan tentang dia dan Fajar masih terekam jelas dalam kepalanya. Mereka berdua sering tiba-tiba mampir ke warung mie milik Pak Dirmo yang berada didekat tempat pancingan ikan favorit mereka. Sepekan sekali mereka makan mie disana.

Karena tidak mendapat jawaban ibunya pun ikut menyerah. Mie ayam pun sudah dingin, karena takut mubazir akhirnya Abah yang memakan mie dingin itu dengan perasaan bersalah.

Pukul 00.59 malam. Zanna memang merasakan perutnya sangat lapar. Tenggorokanya juga kering, ia sangat haus. Dengan langkah terseok seperti tak bersemangat hidup akhirnya ia membuka pintu, ia keluar menuju dapur. Sampai di ruangan yang cukup gelap itu ia mencari stop kontak dan menyalakan lampu.

Zanna terkejut karena melihat abahnya sedang duduk di kursi meja makan, lalu tangannya memegang tasbih. Lisannya membuka menutup, abahnya sedang khusyuk berdzikir. Melihat Zanna keluar dari kamarnya, Abah menyelesaikan dzikirnya.

"Duduk dulu, Nduk. Isi perutmu, nanti kamu sakit." Suara parau Abah membujuk Zanna.

"Zanna tidak selera makan, Bah."

"Iya, Abah tahu. Tapi kesehatan fisikmu lebih penting."

Zanna melangkah menuju dispenser, ia mengambil gelas bening sembarang. Tangannya yang gemetar malah menyenggol beberapa gelas yang sudah tersusun rapi diatas rak.

"Pranggg!!!"

Ia kaget sendiri dengan pecahnya sebuah gelas yang meluncur dari tangannya. Abah segera bangkit dan menjauhkan Zanna dari pecahan gelas itu. Abah menarik kursi untuk Zanna, ia segera mengambilkan air minum hangat untuk Zanna.

"Maafkan Zanna, Bah..." air mata Zanna kembali mengalir. Air mata itu masuk ke dalam gelas. Wajahnya tertunduk lemah, tangannya masih gemetar, ujung-ujung jarinya memucat.

"Sudah, tidak apa-apa. Ayo, kamu makan dulu. Lihat dirimu, baru seminggu saja sudah kurus begitu. Mau jadi apa kamu, Nduk?"

Abah menghangatkan makanan untuk Zanna, ia sendiri yang menyajikan makanan itu untuk putri yang sangat ia sayangi.

Nafas Cinta Zanna [Pindah ke Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang