Tangis (2)

27.9K 834 18
                                    


Zanna menangis sejadi-jadinya diatas ranjangnya, tubuhnya telungkup, wajahnya ia benamkan diantara tumpukan bantal. Gedoran pintu dari luar ia abaikan, tidak peduli apa kata Abah dan Ibunya yang sedang sibuk mengurusi tamu di pernikahan keponakannya. Ia memilih kabur dari pesta pernikahan sepupunya daripada harus menyaksikan kemeriahan pesta itu dengan hati tercabik-cabik.

Pintu kamarnya masih digedor. Kali ini disusul suara lembut seorang perempuan.

Wulan, sahabatnya telah datang menyusul.

"Zan! Buka pintunya, Zanna!"

Zanna tidak ingin bangkit. "Pergi saja, Wulan. Aku ingin sendiri!" bentaknya pada Wulan.

"Tidak. Aku mau bicara denganmu dulu, Zan!" paksa Wulan. "Buka pintunya, Zan. Tolonglah, aku mau menemanimu."

"Tidak perlu. Aku ingin sendiri saja. Tolong, Lan. Mengertilah." Zanna memohon dalam isaknya. Lama, suara ataupun gedoran Wulan tidak terdengar lagi. Sepertinya sahabatnya itu memenuhi permintaannya. Wulan memang sahabat yang baik selama tujuh tahun ini.

Zanna mengambil posisi duduk, tangisnya masih belum reda. Ia merasa menjadi perempuan paling merana seujung dunia, sebab cintanya yang telah lama bersemi hancur seketika. Ia mengingat hari-hari saat dia dan Fajar pergi bersama; ke toko buku, ke pasar malam, ke Simpang Lima, pergi ke tempat-tempat favorit mereka di Kota Semarang. Makan mie Jawa bersama, memancing ikan bahkan ke pantai setiap bulan sampai kulit Zanna yang putih bersinar menjadi agak kecokelatan.

Tidakkah Fajar sadar bahwa ada hati yang terus menunggu? Zanna sendiri enggan mengungkapkan isi hatinya. Sebagai perempuan dia merasa sangat malu bila mengungkap cinta pada seorang lelaki, meskipun lelaki itu sudah ia kenal sejak masih bocah.

Baru kemarin Abah dan Ibunya tahu bahwa Zanna menyimpan rasa untuk lelaki itu, Fajar. Salah Zanna yang menyimpan rapat cinta itu seorang diri, sehingga tak satupun manusia mampu menebak apa yang ada dalam benaknya. Wanita memang pandai menyembunyikan cinta, namun sulit menutup rasa marah dan cemburu.

Kini, semua ia pendam sendiri. Tidak tahu akan melampiaskan pada siapa. Dunianya gelap seketika, ia tidak bisa meraba-raba apa yang akan ia lakukan di hari esok. Dan apakah ia sanggup berjalan, walau sekadar menyambut cahaya matahari. Sementara sepasang pengantin baru akan tinggal disebelah rumahnya?

Semua terlah terjadi, harapannya pupus. Ia tidak mungkin merusak kebahagiaan oranglain, lagipula Fajar telah memilih Wanda sebagai istrinya. Mereka satu universitas, hanya beda fakutlas dan jurusan, setiap hari bisa bertemu, bertatap muka, menyapa, bahkan bisa makan di kantin bersama. Mungkin diam-diam dibelakang Zanna, lelaki itu sudah lama menjalin hubungan dengan Wanda. Dan begitulah isi pikiran Zanna, semua dipenuhi rasa curiga tentang hubungan gelap yang Fajar sembunyikan darinya.

Begitu tega. Tega sekali. Batin Zanna terluka.

Sepekan sebelumnya Fajar datang ke rumahnya, ia memberikan sebuah undangan berwana cokelat muda. Zanna tidak menduga sama sekali bahwa itu adalah undangan untuknya dari Fajar, ia baca berkali-kali nama yang tertera dikertas itu.

"Fajar dan Wanda." Ia tersenyum penuh penyesalan, ia pun berpura-pura kaget dan tertawa. Tawa sumbang yang sulit Fajar artikan. "Mas Fajar serius?" katanya tidak percaya.

"Iya, Zan. Aku serius mau menikah. Maaf belum sempat mengenalkanmu dengan dia. Wanda itu satu kampus denganku, dia mengambil Kesehatan Masyarakat. Sekarang dia bekerja di Dinas Kesehatan Masyarakat, dia sering keluar untuk mengisi seminar tentang kesehatan. Dia perempuan yang baik, Zan." Fajar berusaha menjelaskan siapa perempuan yang akan dia nikahi.

"Zanna Cuma kaget saja. Ini mendadak, Mas."

Fajar hanya menjawab dengan sebuah senyuman. Senyum yang melukiskan jutaan rasa bahagia, mungkin, karena Zanna menebaknya demikian. Dibalik senyum itu hati Zanna tercabik-cabik. Terlambat sudah untuk mengungkap sebuah rasa.

Nafas Cinta Zanna [Pindah ke Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang