Babak Dua: Rasa Sakit

57 2 4
                                    

Jam waker berbunyi dengan kencang, sesuatu yang sangat indah untuk mengawali pagi yang tenang seperti ini. Tentu aku terbangun, karena mimpiku sudah pecah seperti kaca jendela yang baru saja terkena lemparan bola baseball keras oleh anak-anak yang tak bertanggung jawab.

Aku berjalan keluar dari kamarku dengan keadaan setengah sadar, seperti zombie yang baru saja memakan seperempat otak korbannya karena para zombie hunter datang untuk memangsa otak mereka juga dengan tongkat baseball ataupun kapak dengan mata yang tajam.

Kini aku berdiri di depan wastafel kamar mandi dan melihat wajahku yang begitu kacau pada cermin di depanku. Aku mendengus sambil sedikit tertawa kemudian meniup satu juntai rambut yang menutupi sebagian wajahku. Aku menopang tubuhku di tepi wastafel dan menyipitkan mataku.

"Kenapa aura untuk hari ini benar-benar tidak bersahabat? Geez, aku bisa merasakan di permukaan kulitku... udaranya begitu berbeda hari ini." Ucapku kepada diriku sendiri dan mungkin kepada mahluk halus yang mendeklarkan kamar mandi sempit ini sebagai kerajaan ghaib mereka.

Aku menggeleng kepalaku beberapa kali sebelum membuka seluruh pakaianku dan melangkah masuk ke tempat shower. Airnya begitu dingin, seperti jarum es yang menusuk permukaan kulit sampai ke tulang-tulang. Sesudahnya, aku mengeringkan rambutku dan lagi-lagi di depan cermin wastafelku. Ya, maksudku mau apa lagi? Aku tak membawa cermin saat pindahan ke dorm ini. Aku mengira bahwa cermin sudah menjadi satu paket gratis dengan dorm, ternyata hanya ada di kamar mandi saja.

"Ugh... i'm so gross." Ucapku memuja tubuh indahku ini.

Setelah itu aku segera keluar, membawa tubuh telanjang ini ke kamarku. Memakai baju biasa yang sudah ditakdirkan Tuhan untuk di pakai seorang Devonna Lawrance: Jaket denim, kaos putih atau kaos apapun yang penting belahan dadaku yang sepanjang dan sedalam palung Marina ini tidak terpampang jelas dan membuat mata lelaki berbinar, lagian pula siapa lelaki yang ingin melihat belahan dadaku—di saat payudaraku begitu kecil seperti gigitan nyamuk. Mungkin aku harus menambahkan daftar operasi payudara di dalam goals hidupku sebelum semuanya terlambat.

Aku kemudian keluar, menyantap rotiku yang sudah mengeras karena ke bodohanku menaruhnya di lemari pendingin, lalu membereskan seluruh buku pelajaran dan memasukannya ke dalam tas pemberian ayahku yang robek di.bagian sudit kanan bawahnya, membuat beberapa alat tulisku hilang begitu saja. Sudah kebiasanku untuk tidak memakai tempat pensil apa lagi membawanya ke sekolah. Aku pernah membawa tempat pensil dan yang aku tahu sedetik kemudian adalah seluruh alat tulisku hilang, tak pernah ada yang kembali satupun dan seluruh temanku berlaga amnesia ketika aku meminta mereka untuk mengembalikan alat tulisku.

'Eh... emang iya aku meminjam pulpenmu? Sepertinya tidak'

Bullshit...

Jadi sejak saat itu aku tak sudih lagi membawa tempat pensil ke sekolah, lebih baik seluruh alat tulisku hilang dengan cara seperti ini. Aku menggendong tasku dan segera berjalan keluar dari dorm, tetapi langkahku terhenti karena terdapat Ryan di sana.

"Hai, selamat pagi." Sapa Ryan dengan senyuman.

"Mengapa kau ada di sini?" Tanyaku kebingungan.

"Apa kau lupa, kau yang meminta aku menjemputmu." Jelasnya sambil tertawa lalu kemudian kami berjalan bersama.

Aku mengingat-ingat lagi apa yang dikatakan oleh Ryan dan mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk pacaran. Aku bahkan lupa kalau kini diriku menjalin hubungan cinta dengan lelaki popular di sekolah.

Brace your self, Devonna. Akan ada badai yang menjemputmu ketika kau memasuki gedung sekolah.

"Ya, tapi aku tak bermaksud kau benar-benar menjemputku." Balasku.

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang