26

36K 4.2K 92
                                    


Lintang baru sampai. Tengah menyusuri halaman sekolah saat seseorang merangkulnya dengan semangat hingga tubuhnya ikut terhuyung.

"Lintang," sapanya bersemangat.

Lintang melirik wajah penuh lebam itu dengan dingin. Lalu membuang lengan yang ada di lehernya dengan kesal. Alfin terkekeh saja kemudian menyodorkan botol minum pada Lintang.

"Dari ibuku," katanya.

Lintang menatapnya sesaat, mengingat terakhir kali ia menerima botol itu ia harus menderita pening kepala ia jadi ragu untuk menerimanya kali ini.

Alfin tertawa, lalu menarik tangan Lintang dan meletakkan botol itu di tangannya.

"Jangan menyuruhku memberikannya pada Andi atau Egha," kata Alfin. "Kali ini perintahnya sangat jelas. Ibuku bilang 'berikan pada Lin-tang'," jelas Alfin yang kemudian tertawa teringat bagaimana ibunya tadi mengatakan hal itu untuk membuatnya benar-benar jelas.

Lintang menghela nafas pelan.

"Hari ini dia libur, dia ingin kau main ke rumah," lanjut Alfin.

Lintang berhenti berjalan, menatap Alfin dengan kesal.
Alfin ikut berhenti lalu kembali tertawa. Sudah menduga kalau respon Lintang akan seperti ini.

"Kali ini aku serius," kata Alfin menunjukan dua jari pada Lintang.

Lintang menatapnya dingin, tentu saja tidak percaya.

"Serius," kata Alfin lagi berusaha lebih meyakinkan.

Dan Lintang tetap dingin menatapnya penuh sangsi.

"Kemarin dia histeris saat melihat wajah tampan anaknya ini jadi babak belur penuh lebam," cerita Alfin kembali berjalan.

Lintang juga kembali  berjalan, sejajar dengannya.

"Kurasa dia ingin kau datang karena mau tanya padamu tentang apa yang terjadi padaku kemarin," kata Alfin.

"Memangnya kau bilang apa waktu ibumu tanya padamu?" tanya Lintang.

"Aku tidak mengatakan apa pun padanya," lanjut Alfin.

"Kenapa tidak?" tanya Lintang datar.

Alfin diam sebentar, wajah lebamnya yang tadi ceria berubah murung. Lama diam dan  tak ada tanda-tanda Alfin akan mengatakan sesuatu.

"Kenapa tidak kau katakan pada ibumu?" tanya Lintang lagi, sudah tak sabar.

Alfin membuang nafas dengan lesu lalu duduk di bangku panjang di depan sebuah ruangan. Lintang berhenti berjalan dan menatapnya.

"Boleh pinjam tanganmu?" tanya Alfin kemudian.

Lintang berdecak sedikit kesal. Tahu apa yang akan Alfin lakukan dengan tangannya. Tapi Lintang duduk di sampingnya dan menyodorkan tangannya juga. Karena terlanjur penasaran dan ingin mendengar jawaban Alfin dari pertanyaannya.

Alfin meraih tangan Lintang dan melekatkan itu di dadanya. Setelah itu menarik nafas dalam seperti penderita sesak yang akhirnya mendapatkan udara.

"Aku tidak mau menambah beban pikirannya," kata Alfin mulai bercerita. "Dia akan sangat sedih kalau tahu aku mendapat perlakuan tak adil di sekolahku yang dulu."

Berhenti sebentar dan kembali menarik nafas dalam.

"Dia mungkin juga akan sangat marah kalau tahu aku dijauhi, dipukuli, dihina dan direndahkan karena kelakuan ayahku."

Lintang mulai mengerti. Kini ia menatap tangannya yang masih dipegangi Alfin di dada. Genggamannya menguat seolah mencari pegangan yang memberinya kekuatan.

"Kalau ku katakan apa yang diceritakan Galang tentang kakaknya kemarin. Tentang alasan yang membuat Galang memukuliku, alasan yang membuat Galang begitu membenciku, Ibuku sudah pasti akan mengamuk dan mendatangi ayahku. Tapi aku tidak mau itu terjadi. Aku sudah lelah melihat mereka berkelahi. Lagi pula lelaki itu tak pernah jera. Itu percuma, yang ada hanya ibuku yang terluka."

"Aku tahu kalau ibuku sangat sakit dengan semua kelakuan lelaki itu. Rasa sakit untuk apa yang mendera ibuku sendiri saja sudah luar biasa. Tidak perlu kutambahi dengan memberitahunya apa yang terjadi padaku. Sudah terlalu banyak luka di hatinya, aku sungguh tak ingin menambahi."

Lintang menghela nafas pelan, kini bisa mengerti kenapa Alfin tak mau menceritakan itu pada ibunya.

"Tapi, bukankah itu berat menanggungnya sendiri?" tanya Lintang.

Alfin tersenyum .

"Aku tidak sendiri," jawabnya. "Kau ada di sampingku," lanjutnya menoleh pada Lintang.

Lintang tersenyum sengit mendengarnya.
"Bagaimana bisa kau bersandar padaku, padahal aku begini dinginnya padamu?" gumam Lintang tak habis pikir.

Alfin tertawa, tertunduk lalu menggeleng.

"Tidak," katanya. "Kau tidak sedingin kelihatannya," jawabnya membuat Lintang justru mengernyit bingung.

Alfin tersenyum melihat wajah bingung yang menatapnya.

"Kau itu cuma dingin di bibir," jelas Alfin mencubit pipi Lintang gemas. "Di balik kata-katamu yang dingin, singkat dan sedikit menyebalkan itu kau benar-benar orang baik," lanjutnya dengan tangan masih ada di pipi Lintang.

"Kau dewasa dan benar-benar peduli pada semua orang," kata Alfin menatapi wajah di depannya itu.

Lintang tertawa sengit mendengar itu. Benar-benar merasa lucu mendengar Alfin mengatakan kalau dia ini adalah orang yang peduli mengingat betapa seringnya ia mengacuhkan orang-orang.

Tangan Alfin yang tadinya mencubit pipi Lintang kini berubah jadi memegang lembut. Alfin bingung kenapa tiba-tiba berdebar menatap Lintang sedekat ini. Ia menggenggam erat tangan Lintang yang masih di dadanya. Ia yakin bahkan Lintang pasti bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak karuan.

Alfin menelan ludah membayangkan hal gila dalam kepalanya. Lintang masih menatap datar seperti biasanya. Alfin bisa merasakan kalau Lintang mencoba menarik tangannya yang masih ia genggam. Tapi ia belum ingin melepasnya. Pelan-pelan justru ia dekatkan wajahnya pada Lintang. Lintang diam dan masih menatapnya dingin. Alfin terus mendekat dan terus lebih dekat.

"Aku akan membunuhmu kalau berani melakukannya," desis Lintang kejam.

Alfin terkesiap, mengerjap beberapa kali mendapatkan kembali kesadaran dirinya. Lintang dengan pelan menampik tangan Alfin di pipinya. Lanjut menarik tangan satunya yang ada di dada Alfin.

"Kau harusnya menjaga pendirian yang kau ucapkan pada Galang kemarin," kata Lintang bangkit dari kursinya.

Alfin mendongak menatapnya. Bingung dengan yang diucapkan Lintang itu.

"Kau tidak akan menyukaiku, kan?" tanya Lintang tersenyum sengit, lebih terdengar seperti ejekan.

Alfin merasa terpojokkan dengan pertanyaan itu. Matanya melihat arah lain, entah kenapa tak berani menatap Lintang. Mana mungkin dia menyukai Lintang. Tapi yang barusan itu apa?

"Tenanglah!" kata Lintang. "Aku tidak akan berpikir begitu," kata Lintang tersenyum. "Kau hanya terbawa suasana," jelasnya.

Alfin tercengang. Heran sendiri kenapa malah Lintang yang mengatakan itu. Padahal di saat seperti ini harusnya dia yang mencari-cari alasan begitu.

"Ayo ke kelas," kata Lintang sebelum akhirnya berjalan.

Alfin masih duduk di tempatnya. Menatap Lintang tanpa bisa mendefinisikan getaran apa yang dirasakan di dadanya ini. Ia mengusap tengkuknya heran. Apa benar dia menyukai Lintang? Sejak kapan? Setahunya dia menyukai Vlo. Tapi kenapa jadi berdebar begini gara-gara Lintang?

"Tidak waras, bagaimana mungkin aku menyukai gadis sedingin itu?" gumam Alfin hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

Tak lama kemudian menyadari sesuatu.

"Tapi tadi kukatakan sendiri padanya kalau dia tak sedingin kelihatannya, kan?" kata Alfin menanyai dirinya sendiri. "Aaaaa dasar bodoh, kau ini kenapa?" gerutu Alfin mengacaki rambutnya sendiri.

_______

Bersambung...

Kelas A [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang