14☕ || The handkerchief ||

113 5 6
                                    

THE HANDKERCHIEF
Aku pernah merasakan sebuah kehancuran, namun ditengah-tengah itu aku merasakan ada uluran tangan yang menyambutku untuk bangkit. Dan sayangnya, kehancuran yang dulu aku alami kini terjadi lagi dan lebih parah saat ini.

||☕||

Setelah acara tiup lilin dan potong kue, kini saatnya tiba pemotretan keluarga besar. Shinta dan Rou lebih memilih mencicipi cake dan tart selagi acara pemotretan berlangsung. Rou mencomot satu potong cheesecake kesukaan Reisha dan Ken.

"Ih, enak banget cheesecake!"

"Mocca sandwich juga enak!"

"Salad dan krim cokelatnya lumer banget, sih!"

Hingga tidak jauh dari sana, Milan tersenyum miring melihat Rou yang lahap mencomot beberapa kue. Milan mengarahkan kameranya, suara shutter terdengar jelas dan Milan tersenyum puas melihat hasil gambarnya.

"Rou, jangan malu-maluin gitu!" Shinta berteriak cepat.

"Malu-maluin kenapa?" Tanya Rou polos. "Rou masih pakai dress, Rou juga cantik, ngapain malu?"

Cepat-cepat Shinta membekap mulut Rou sebelum mereka menjadi pusat perhatian. Shinta menarik lengan Rou agar menjauh dari sana menuju Reisha. Untunglah acara pemotretan itu sudah selesai baru saja. Reisha mengajak Ken untuk membuka hadiah sedangkan Rou dan Shinta memilih duduk disamping Sheila yang kini ikut beranjak dari sana melahap habis semua makanan manis yang ada disana.

"Sheil," Panggil Milan yang kini berada disamping Sheila. Tangannya terulur untuk mengelus pucuk rambutnya lembut. "Jangan makan makanan manis kalau malam hari, nanti gigi kamu sakit."

Perhatian. Sheila yang diperhatikan tapi mengapa Rou yang blushing dengan pipinya yang merona merah.

"Rou juga nggak apa-apa tuh makan makanan manis banyak," Celetuk Shinta. "Kenapa nggak lo cegah?"

Senyuman smirk tercetak jelas diwajah Milan. "Beda, dia siapa gue?"

"Harus jadi siapa-siapa dulu supaya bisa bersikap care sama Rou?" Tanya Rou dengan nadanya yang lirih.

Milan mengangguk. "Iya."

"Ya udah, Milan nggak perlu perhatian sama Rou."

Shinta mengajak Sheila menuju Ken dan Reisha yang kini berada didalam rumah. Shinta melakukan ini karna ia ingin masalah dan urusan Milan dengan Rou selesai dan tidak ada yang menggantung.

"Sheil, kita ke Ken aja, yuk!" Ajak Shinta dan untungnya Sheila adalah perempuan penurut. Milan mengambil alih duduk disamping Rou. Gazebo milik Reisha sangat nyaman untuk malam ini.

"Siapa Fathin?" Tanya Milan dengan wajahnya yang datar.

Milan mengetahui nama Fathin dari Bella. Dan Milan tahu kalau Fathin bukanlah cowok baik-baik untuk Rou. Pertanyaan itu langsung meluncur tanpa bisa disaring oleh Milan. Seolah-olah Milan sedang penasaran dan cemburu kepada Rou padahal Rou sendiri tidak tahu apa maksud Milan menanyakan hal itu kepadanya. Pertanyaan Milan hanya dianggap pertanyaan biasa oleh Rou. Andai saja Shinta ataupun Reisha ada disini, mereka berdua akan klaim Milan bahwa dirinya cemburu.

"Temannya Rou," Jawab Rou jujur.

Iris mata Milan tiba-tiba saja tertuju pada bibir tipis milik Rou yang ada didepannya itu. Sekelebat bayangan mulai berkecamuk dikepalanya. Tentang Rou yang ternyata begitu murahan dan tidak sepolos wajahnya. Membayangkan hari itu ketika Fathin mencium bibir Rou di UKS benar-benar membuatnya jijik. Milan menatap iris cokelat Rou yang meneduhkan, semua orang tidak akan pernah percaya kalau Rou sangat murahan untuk ukuran tampangnya yang lugu.

Rou yang sadar diperhatikan itu akhirnya memalingkan wajahnya cepat. "Dasar cabul,"

"Daripada lo," Balas Milan tidak mau kalah dengan umpatan Rou.

Rou mendongak dan menghadap Milan menantang. "Apa?"

"Murahan," Desis Milan dengan suara lirihnya yang kemudian membuat Rou sedikit bergetar dibuatnya.

Ternyata Milan memang kejam. Seenak jidatnya memanggilnya dengan sebutan murahan. Kalau Milan memang sebegitu membencinya, mengapa saat ini Milan malah duduk disampingnya?

Rou menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tidak mau memberi tahu kepada Milan bahwa dirinya mulai meloloskan air matanya. Kata Ronald, harga diri perempuan itu mahal. Sekali terlihat lemah kepada laki-laki, maka akan setiap hari laki-laki itu dengan enaknya menyakiti dirinya.

"Gue masih nggak nyangka ternyata dibalik wajah polos lo itu menyimpan sikap lo yang aslinya." Lanjut Milan tersenyum miring. "Buang wajah polos lo, karna itu nggak akan pernah bisa menutupi sikap lo yang benar-benar murah."

Milan beranjak dari duduknya, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Sedetik, ia menoleh ke belakangnya. Melihat respon Rou yang sepertinya tidak ingin menjelaskan apa-apa dan hal itu malah semakin membuat Milan bertambah yakin atas apa yang ia ucapkan adalah sebuah kebenaran.

"Bahkan lo nggak bisa menjelaskan apapun ke gue, tandanya gue benar." Tambah Milan.

"Milan butuh penjelasan apa?" Tanya Rou balik. "Apa setelah Rou menjelaskan semuanya Milan akan percaya? Bukannya selama ini Milan selalu menganggap Rou nggak penting dan apa yang Rou lakukan nggak akan pernah membawa pengaruh apapun untuk Milan, jadi percuma."

Rou benar, Milan menang tidak akan percaya dengan Rou. Apapun alasan seorang gadis murahan adalah sesosok yang penuh dengan kebohongan. Milan membenci Rou detik itu juga.

"Bagus kalau udah tau," Ujar Milan sekenannya lalu meninggalkan Rou sendirian.

Gadis itu termenung, ia sama sekali tidak mengerti apa maksud Milan. Kalau Milan memang membencinya tak apa, itu haknya. Tapi kenapa ucapan Milan tadi sangat kasar kepadanya?

Perasaannya terasa sakit ketika mengingat ucapan 'murahan' keluar spontan dari bibir Milan. Semua orang pasti terluka mendengar orang yang ia sayangi mengatakan bahwa dirimu 'murahan' apalagi tanpa perasaan.

"Kak Rou," Panggil Sheila yang kini berada didepan Rou dengan tatapan iba.

Rou yang menatap keberadaa Sheila langsung menyeka air matanya cepat menggunakan sapu tangan putih pemberian Milan tempo lalu. Rou memang rajin mencuci sapu tangan pemberian Milan dan membawanya setiap hari selain note kecilnya. "Kok ada disini?"

Sheila mengernyitkan dahinya ketika melihat sapu tangan yang dipegang Rou. "Sapu tangannya, Bang Milan?"

Rou mengangguk pelan. "Iya, Milan yang kasih."

"Pasti Bang Milan sayang sama kak Rou,"

"Huh?"

"Sapu tangan itu," Sheila menunjuk ke arah kain berbentuk persegi berwarma putih itu. "Dari Mama, Bang Milan selalu menjaganya."

Dahi Rou bergelombang. Apakah mulai membuka hatinya untuk Rou? Ah, itu terlalu mustahil. Mungkin Milan kasihan padanya karna cintanya harus berakhir bertepuk sebalah tangan.

"Rei sama Inta mana?" Tanya Rou mengubah topik.

Namun, Sheila adalah gadis pintar dan cerdas. Gadis itu tahu kalau Rou mencintai Milan sayangnya Milan sendiri terlalu meremehkan dan menyia-nyiakan perasaan Rou.

"Kak Rou," Panggil Sheila lirih dan memberi jeda. "Maafin Bang Milan, ya,"

Rou diam sebentar, meskipun dirinya tidak tahu maksud Sheila, Rou hanya mengangguk saja mengiyakan.

"Bang Milan pasti menyesal telah menyia-nyiakan kakak,"

Oh, Rou sudah tahu apa yang dimaksud Sheila. Tapi Rou sama sekali tidak menyalahkan Milan. Menurutnya, perasaan itu tidak ada yang salah. Kalaupun Milan memang belum membuka hatinya untuk Rou, itu bukan kesalahan Milan, karna hati tidak mudah untuk dipaksakan.

A/n

Hohoho ... :)

Milan & Rou ✔Where stories live. Discover now