Tak heran, balita itu begitu menempel erat padanya. Orang-orang sering mengatakan, bocah itu lebih pantas menjadi anak Ulfi daripada adiknya.

Sang istri menghela napas. Faiz beralih menatapnya.

"Aku hanya tidak enak pada Kak Haris. Wataknya sangat keras dan ... sedikit sombong. Aku merasa, dia tidak akan tinggal diam." Wanita itu memeluk tubuhnya sendiri. Selama ini, bahkan ayahnya kewalahan menghadapi kekerasan Haris. Kakaknya itu tak segan-segan melakukan apa pun demi mewujudkan keinginannya. Maka dari itu, ia sangat terkejut dan cemas saat mengetahui sang kakak melamar putrinya untuk anak sulungnya, Romi.

Terlebih lagi saat sang suami menolak dengan halus lamaran itu.

Faiz mengangguk-angguk. "Kali ini, pasrahkan semuanya pada Allah. Kita percaya Allah akan melindungi orang-orang yang tak bersalah."

Wanita di sampingnya tak menjawab. Diam, menatap bocah kecil berceloteh riang dengan mulut penuh makanan.

****

"Jadi, begitulah, Mbah. Saya sangat membencinya. Saya marah. Dia telah menghina saya. Meraupkan kotoran di wajah saya. Saya ingin memberinya pelajaran."

Ucapannya berapi-api. Di ruangan yang terhirup darinya aroma dupa, dua lelaki itu duduk berhadapan. Pria berwajah sangar dengan kumis lebat, mengangguk-angguk tiap kali lelaki di depannya bercerita.

Sejujurnya, ia pun merasa kesal pada orang yang diceritakan lelaki itu. Diam-diam, sudut bibirnya tertarik, menyeringai. Ia puas. Setidaknya, ada satu orang yang berpikiran sama. Sama-sama membenci Faiz.

Lucunya, yang membenci dan mendatanginya saat ini adalah Haris, kakak ipar lelaki itu sendiri. Bertambah giranglah dia. Mbah Puji bersorak dalam hati.

"Kau tahu, aku pun sebenarnya jengkel padanya." Mbah Puji menyahut setelah beberapa saat lamanya terdiam. Ia tersenyum saat Haris memandangnya heran.

"Apa dia membuat masalah dengan Mbah?" tanyanya setengah tak percaya. Setahunya, Faiz adalah orang yang ramah dan jarang berinteraksi dengan orang lain bila tak diperlukan.

Mbah Puji terkekeh, kemudian raut wajahnya mengerut, rahangnya mengeras.

"Anakku, Danu, dia ditolak wanita gara-gara anak si Faiz itu. Kemarin, aku melabraknya habis-habisan. Kau lihat? Berani-beraninya dia menantangku. Aku yakin laki-laki itu menurunkan ilmu pelet pada anaknya. Sangat yakin! Untunglah perempuan itu sudah kuberi pelajaran," jawabnya dengan nada geram.

Haris tercenung. Ingatannya berputar, tertaut pada sosok pemuda 19 tahun yang selalu tersenyum tiap kali berpapasan dengan orang. Adik Ulfi yang berada di pesantren. Ahmad namanya.

"Sudahlah. Sekarang, katakan, apa maumu?"

Pikiran Haris kembali dikuasai amarah dan kedengkian. Ia adalah orang cukup berpengaruh di kampung itu. Terkenal dengan harta yang berlimpah, sampai suatu ketika, adiknya menikah dengan lelaki dari antah berantah. Perlahan, simpati masyarakat mulai beralih. Terlihat dari banyaknya bocah-bocah mengaji di surau samping rumahnya.

Kejengkelannya semakin menjadi-jadi. Haris kembali meluap-luap.

"Saya ingin memberi pelajaran pada si Faiz itu, Mbah. Bikin dia menderita. Baik secara fisik ataupun mental. Buat dia terhina dan secepatnya pergi meninggalkan kampung ini."

Mbah Puji menyeringai senang. Dia terkekeh seraya mengisap rokok klobotnya. Menatap Haris yang masih menyorot marah.

"Kalau begitu, datanglah kemari, nanti."

"Kapan, Mbah?"

"Tengah malam."

Haris mengangguk patuh.

****

Tengah malam yang dinantikan Haris pun tiba. Mengenakan sarung yang dipakai sembarangan, kaos oblong dibalut jaket hitam, ia dipersilakan masuk oleh Mbah Puji yang sudah menunggunya sedari tadi. Keduanya lantas memasuki kamar khusus dengan beberapa benda di sana.

Aroma dupa yang dicampur dengan sesuatu—yang Haris tak tahu apa—menyambut indra penciuman. Pencahayaan minim, hanya mengandalkan lilin di beberapa sudut ruangan. Serta sebuah benda yang ditutupi kain hitam. Haris mengernyitkan dahi saat mencium bau amis.

"Duduk!" perintah Mbah Puji, menyadarkan Haris.

Mereka duduk berhadap-hadapan. Tak ada suara untuk beberapa saat lama. Desir-desir angin membuat bulu kuduk Haris berdiri. Bagaimana ada angin lewat di ruangan tertutup seperti ini?

Mbah Puji masih belum berkata-kata lagi usai menyuruhnya duduk tadi. Ia tenggelam dalam bacaan-bacaan yang Haris tak ketahui. Mulutnya berkomat-kamit melafalkan mantra—Haris menerkanya, karena kalimat-kalimat yang diucapkan Mbah Puji sangat asing di telinganya. Sampai setengah jam lamanya, hingga Haris mulai terkantuk-kantuk.

Suara kekehan sontak mengusir kantuknya. Haris membelalakkan mata. Mbah Puji masih sibuk merapal mantra. Lalu, dari mana suara tawa itu terdengar? Seketika, Haris mengusap tengkuknya sendiri.

Takut-takut, ia menoleh ke belakang. Matanya kembali melebar saat mendapati pemandangan yang tak pernah ia lihat seumur hidup. Sosok tinggi besar dan berbulu lebat berdiri tegak. Tingginya hampir mencapai langit-langit ruangan itu. Wajahnya mengerikan, awut-awutan, tertutup bulu-bulu, tak jelas mana hidung, mana mulut.

Jari-jemarinya sebesar pisang tanduk. Siap mencengkeram siapa pun yang berada di depannya. Tubuh Haris bergetar hebat.

Jika sekilas dilihat, makhluk itu mirip dengan orang utan, atau kera bertubuh besar.

Haris berkali-kali memandang Mbah Puji yang belum membuka mata. Ia menelan ludah gugup. 'Mati aku!' batinnya. Seharusnya ia mengikuti kata hati yang melarangnya pergi kembali ke tempat ini. Bisa-bisa, justru dialah yang menjadi santapan siluman kera itu.

"Datang juga kau akhirnya." Ucapan Mbah Puji membuat Haris menarik napas lega. Sangat lega. Ia mengusap keringat dingin yang membasahi keningnya.

Terdengar racauan tak jelas dari makhluk itu. Haris berjengit takut.

"Tentu saja. Aku sudah menyiapkan itu." Mbah Puji menyingkap kain hitam dan memperlihatkan isi baskom di bawahnya. Haris menahan mual seketika.

Benda, entah apa, bergumpal-gumpal, mengeluarkan aroma busuk menyengat. Haris menutup hidungnya kuat-kuat.

"Itu ... apa, Mbah?" Ia tak dapat menahan diri untuk bertanya.

Mbah Puji tertawa pelan. "Ari-ari bayi," jawabnya singkat.

Haris membelalakkan mata. Menatap Mbah Puji dan baskom itu bergantian.

Tak menunggu waktu lama, makhluk itu melewati Haris, berjongkok di samping Mbah Puji lalu menyantap ari-ari itu dengan rakus. Terdengar bunyi kunyahan membuat Haris kembali menutup mulutnya. Jijik, ia ingin muntah.

Secepat itu juga, makhluk itu menghabiskan sesajen untuknya. Menjilati sela-sela jemari besarnya.

"Sekarang, kerjakan perintahku. Pergilah ke rumah yang kusebutkan tadi. Ganggu dia bagaimana pun caranya."

Makhluk itu mengangguk-angguk cepat. Ia menggelepar-gelepar sesaat sebelum menghilang. Terdengar embusan napas lega.

"Apa semuanya akan berjalan lancar, Mbah?"

"Tentu saja. Makhluk itu adalah wujud ilmu hitamku yang paling tinggi tingkatnya. Belum pernah dia gagal satu kali pun."

Kekehan puas Mbah Puji diiringi senyum lebar Haris. Keduanya yakin, sebentar lagi, lelaki yang dibencinya itu tidak akan bisa hidup dengan tenang.

Kedengkian membakar habis diri mereka.

****

Tinggalkan jejak, ya?

Kripik pedas pun boleh.

Masih enjoy? 😊😊

SantetWhere stories live. Discover now