1. Athe and Niel

2.2K 235 21
                                    

Panggil dia Ath, atau Athe kalau tidak ingin diabaikan oleh si pemilik nama lengkap Athena Dewi Plato. Gadis berusia 16 tahun dengan tinggi 163 cm berkulit sepucat porselen itu paling tidak suka dipanggil dengan nama tengahnya yang lebih sederhana. Bagi Ath, panggilan "Dewi" itu terlalu "feminine" katanya. Sebab, berbanding terbalik dengan warna kulitnya yang memang memesona dan membuat iri para wanita, penampilan Ath sangat jauh dari kata feminine.

Rambut bob di atas bahu, topi atau bannie yang hampir tidak pernah lepas dari kepala, kaus dan hoddie kebesaran, sertas celana jins rombeng yang lebih mendominasi lemari pakaiannya. Bagi Ath itu adalah style-nya, tidak ada yang berhak merubahnya meski itu ayah sekali pun. Hanya satu pakaian wanita yang Ath miliki, dan satu-satunya yang dengan sangat terpaksa harus dia kenakan setidaknya lima hari dalam sepekan—seragam sekolah, yang kalau boleh tidak ingin dia kenakan lagi, khususnya pada bagian rok selutut yang sebenarnya jika bisa ingin sekali Ath tukar dengan celana panjang abu-abu yang biasanya dikenakan siswa laki-laki. Hal itu bahkan pernah Ath sampaikan pada sang ayah, yang tentu saja langsung ayah tolak mentah-mentah. Bagaimana pun ayah ingin Ath tetap terlihat seperti wanita, meski itu hanya terealisasi saat melihat penampilan Ath dengan seragam sekolahnya.

"Rambutku udah panjang, Yah. Aku potong lagi ya?"

Kopi yang baru saja Ayah seruput dari cangkirnya hampir menyembur karena ucapan anak gadisnya yang kini tersenyum tanpa dosa. Ath duduk di hadapan sang ayah yang sudah meletakan cangkir kopinya kembali ke meja, memerhatikan gerakan sang putri yang dengan santai mengoles roti dengan selai kacang.

"Kamu baru potong rambut sebulan lalu, Ath, dan itu sama sekali belum panjang. Mau sependek apa kamu potong terus rambutmu, hm? Pangkas habis sampai botak?"

"Kalau boleh sih—"

"Jelas nggak boleh!" potong ayah cepat membuat gerakan Ath yang baru akan memasukan potongan rotinya ke dalam mulut terhenti. Ath cemberut.

"Ingat perjanjian kita saat kamu masuk SMA? Kamu hanya boleh pendekin rambutmu beberapa senti di atas bahu, bukan malah pangkas habis seperti laki-laki. Ayah nggak akan biarin hal itu kejadian lagi, cukup saat kamu SD aja ayah dikira punya anak cowok. Anak ayah perempuan, dan kamu harus inget itu."

"Tapi rambuku udah beneran panjang, Yah... udah ganggu kalau—"

"Ayah bilang nggak, ya, nggak. Kamu mau isi lemarimu mulai nanti sore Ayah ganti dengan rok dan pakaian renda-renda? Sekalian kamu ucapin selamat tinggal sama kaus, hoddie, dan celana jins kesayanganmu kalau kamu sampai berani potong rambut lebih pendek lagi dari itu."

Ath dibuat ternganga. Dia tahu setiap kali topik serupa dibahas, ayah memang selalu menentangnya habis-habisan, tapi tidak pernah sesengit ini, bahkan sampai mengancam akan membuang pakaian yang sudah menjadi jati dirinya.

"Atthhhh!!!" panggilan itu terdengar membuyarkan keterdiaman Ath yang masih memandang ayah tak percaya.

"Berangkat sana, Niel udah jemput," perintah ayah tanpa peduli putrinya masih merenungi semua pesan berupa ancaman yang baru didengarnya.

Masih dengan wajah yang dibuat terlihat sekecewa mungkin Ath meraih ransel, membawa potongan roti yang belum sempat dia makan di satu tangan, sementara tangan yang lainnya meraih gelas susu dan meneguknya sampai habis. "Kalau gitu Ath berangkat," pamitnya sebelum benar-benar berlalu dari hadapan sang ayah yang memandang kepergiannya dengan sorot campur aduk. Antara merasa bersalah dan terpaksa karena tidak punya pilihan lain.

Kadang ayah menyesal mengapa tidak menyertakan campur tangan perempuan saat merawat Ath dulu. Sejak ibu Ath meninggal saat melahirkannya, ayah begitu keras kepala ingin membesarkan Ath dengan tangannya sendiri, hingga apa yang Ath pelajari adalah apa yang ayah tunjukan padanya selama ini, yaitu menjadi sosok yang jauh dari kata feminine.

***

Helm dilempar ke arahnya begitu Ath keluar dari rumah, beruntungnya benda itu ditangkap Ath dengan sigap hingga tidak harus menghantam kepala gadis itu.

"Lama, lain kali mending gue jemput cewek gue dari pada nungguin lo yang leletnya sama kayak mantan-mantan gue." Omel Niel, dengan isyarat kepala menyuruh Ath naik ke boncengan.

Namanya Niel, ya Nathaniel Dwianggara yang sudah mengisi hari-hari Ath setara dengan separuh hidupnya di dunia. Cowok yang dari gaya bicaranya saja sudah terdengar layaknya pemuja wanita—atau mungkin lebih tepatnya disebut playboy cap kacang goreng, julukan yang Ath berikan jika sedang kesal pada Niel. Sayangnya, yang benar-benar amat disayangkan adalah cowok ini juga yang membuat Ath betah berada di sisinya, diikat seolah tak bisa pergi seperti halnya mantan-mantan pacar Niel yang jika dijejerkan bisa membentuk sepuluh barisan, dan ikatan itulah yang mereka sebut dengan hubungan persahabatan. Bulshit? Bisa jadi, karena Ath pun kadang sangsi dengan embel-embel label yang tersemat di antara mereka.

"Liatin apa? Cepetan naik!"

Tatapan tajam Ath masih menghujam Niel yang justru tidak merasakan aura negatif itu, padahal jelas-jelas ucapannya sudah membuat pagi Ath muram karena merasa dibandingkan dengan para mantan yang bahkan Ath saja tak ingat bagaimana rupanya. Dan karena itu, bukannya menuruti perintah Niel, Ath justru tidak beranjak untuk naik ke boncengan. Gadis itu malah dengan ekspresi datar melempar kembali helm yang semula dia terima, lemparan tiba-tiba yang membuat Niel kaget saat menangkapnya. Niel menyerngit, melihat Ath yang memilih berbalik dan berjalan menjauhinya.

"Jemput aja pacar lo sana, gue bias berangkat sendiri."

Sial. Ini yang paling tidak Niel suka, Ath yang marah, atau lebih tepatnya "ngambek" karena baru saja mendengar hal yang paling tidak dia sukai. Meski Niel tidak sadar bagian mana dari ucapannya yang menyinggung Ath. Baiklah... Sekali lagi Niel laki-laki, oke? Tidak semudah itu memahami apa yang wanita pikirkan—meski dalam kasus ini Athe sekali pun. Apalagi kepekaan Niel jauh di bawah rata-rata pria pada umumnya. Benar-benar jauh, bahkan bisa dibilang Niel pria tanpa kepekaan sama sekali.

"Ck, Ath!" Menyalakan mesin motornya, Niel melaju menjajari langkah Ath yang masih bergeming. Dari wajahnya Niel bisa melihat bahwa sahabat sejak kecilnya itu sedang merajuk.

"Nggak perlu lagi jemput gue kalau lo memang nggak suka. Gue nggak pernah minta."

"Ya elah, ngambekan banget sih lo. Cepetan naik!"

Ath menghentikan langkahnya, menatap lurus mata Niel tajam. Sayangnya cowok itu tetap seperti dirinya yang biasa, cuek dan tidak peka.

"Naik, Ath! Gue nggak akan nyamain lo sama cewek-cewek gue lagi, jadi udahan ngambeknya dan naik, oke?"

Ath masih bergeming, untuk beberapa saat mengunci pandangannya pada Niel, tapi kemudian gadis itu menyerah, menunduk seraya menghembuskan napas melunturkan kesal yang ada di ubun-ubun. Ingin rasanya Ath berteriak, tapi dia tahu itu percuma. Niel tetap saja Niel, yang meski diteriaki sekeras apa pun tidak akan bisa mengerti maksudnya. Pada akhirnya Ath menerima uluran helm yang kembali terarah padanya, memakai helm itu dan duduk di boncengan motor Niel.

Amor FatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang