Dua

89 21 15
                                    

      Dering alarm yang memekakan telinga, 'tak mampu membangunkan Rain dari tidur nyenyaknya. Bahkan teriakan dari nyonya rumah pun tidak ia hiraukan, sesekali melenguh kala selimutnya ditarik-tarik. Gadis itu bersembunyi di balik bantal, meredam suara yang terus meneriaki namanya.

Karena tidak ada niatan untuk segera bangun, istri abah melempari Rain dengan bantal diselingi suara melengking. Hasilnya sama, gadis itu bahkan tidak merasa terusik, seolah-olah teriakan mamanya adalah dongeng pengantar tidur.

"Astaga, ini anak manusia apa anak kebo sih? Heran." Putus asa, akhirnya kedua kaki Rain di tarik hingga jatuh ke lantai.

"Ma, kalo bangunin anggun sedikit kenapa si." Rain menguap seraya merentangkan tangan. Matanya masih terpejam rapat, dengan rambut berantakan, serta suara serak.

"Sana mandi terus nyuci baju, anak gadis itu gak boleh bangun terlalu siang ntar—"

"Rezekinya dipatok ayam."

Rain sudah hafal dengan lanjutannya, hampir setiap minggu ia dihujani dengan kalimat itu. Ia berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Seketika matanya terbuka lebar, langsung fresh setelah melihat timbunan cuciannya. Gadis itu menghela napas berat, alamat olahraga tangan dan pinggang pagi-pagi.

Rain termasuk tipekal anak yang kalau rajin, rajin sekali. Dan jika malas, akan malas sekali. Ya contohnya itu, sudah sering mamanya beritahu, lebih baik nyuci perhari agar tidak terlalu capek, tapi dianya memang bandel.

Rain bersenandung, sedang tangannya dengan telaten menyikat seragam sekolah. "Masak-masak sendiri, nyuci baju sendiri. Tarik mang~"

"Cie nyuci."

Gadis itu menoleh ke sumber suara, mendapati Rion yang tersenyum sesamar hantu. Pria itu memakai kaos oblong serta kolor, menenteng ember berukuran sedang, serta serbet biru putih kotak-kotak yang tersampir di bahu, hendak mencuci kendaraan matic kesayangannya. Sama seperti gadis itu, Rion juga baru bangun tidur.

"Situ juga nyuci keleus," ketus Rain. Ia masih sebal karena tidur nyenyaknya diganggu, gadis itu masih ingin berlama-lama gegulingan di kasur.

"Duh galak bener si Ibu. Belum dapet jatah bulanan dari suaminya, ya?"

Rain diam saja, ia lebih memilih melanjutkan pekerjaan yang tinggal sedikit lagi, daripada meladeni pria setengah waras itu, nanti malah tidak selesai-selesai.

"Kok diam aja Bu, lagi sariawan, ya?" Rion terkikik geli, masih belum jera setelah dikacangi sekali.

"Bisa diam gak sih Om? Ganggu aja! Lagian ngapain sih nyuci ke sini juga?" Netra cokelatnya menatap nyalang ke arah Rion, yang sibuk mengelap motor matic kebanggaannya.

"Ini kan tempat umum, ya wajar dong kalo aku juga nyuci di sini." Rion menaikkan sebelah alisnya disertai senyum mengejek, menambah kerutan masam di air muka Rain.

Entah dapat insting dari mana, air bekas cucian baju Rain siramkan ke tubuh pria itu. Tidak terima, Rion balas dendam dengan menyiram Rain memakai air sabun bekas kendaraan. Akhirnya, mereka malah bermain gelembung sabun serta siram-menyiram satu sama lain, persis seperti Spongebob dan Patrick Star.

Mereka berdua lagi berada di sumur bor, sumur-sumur mulai mengering karena di desa mereka mengalami musim kemarau, sehingga warga terpaksa mengungsi entah ke sungai ataupun ke sumur ini.

~

       Rain berulang kali menggeser menu pada gawainya, berharap ada telepon masuk atau paling tidak pesan dari Rion. Mimik gadis itu sangat serius seakan menandakan 'tak ingin diganggu, teman-temannya bercerita pun ia tidak mendengar, atensinya masih terfokus pada layar gawai yang ber-wallpaper bunga forget-me-not.

LUCE MIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang