So Cold

1.1K 75 2
                                    

*

Isakan tangis bergema di salah satu koridor gedung putih itu. Seorang anak laki-laki sedang menangis di depan ruangan dokter yang tadi memeriksanya. Ia mendengar semua yang dibicarakan dokter pada orangtuanya di balik pintu. Tak lama, orangtuanya keluar dari ruangan itu dan memeluknya. Anak laki-laki itu meronta lemah dan menjerit. Sang ibu tak kuasa menahan tangisnya.

Tak jauh dari sana, seorang gadis kecil menangis dalam gendongan omanya. Ia menangis melihat anak laki-laki itu menangis. Ini baru pertama kalinya melihatnya seperti itu.

"Oma, kakak kenapa?" tanyanya pada Oma.

"Kakak nggak papa, sayang..." Ucap sang Oma menenangkan. Meski itu bukan alasan yang sebenarnya. Gadis kecil itu menatap semuanya dengan bingung. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenyataan yang lebih buruk dari apa yang pernah dibayangkan.


"Semenjak saat itu, semua berubah"


"Kak Alvin! Buka pintunya!" Bujuknya. Gadis kecil itu mengetuk pintu kamar anak laki-laki itu –Alvin dengan keras. Sejak malam itu, Alvin selalu mengunci diri di dalam kamar. Dia berubah menjadi diam, dingin, dan tak bersahabat.

"Kak, ayo kita main basket! Sivia kangen main sama kakak..." Ajak gadis kecil itu –Sivia. Setelah menunggu lama, akhirnya Alvin membuka pintunya. Sivia pun tersenyum lebar. Namun, senyuman Sivia surut seketika. Alvin diam dan memandangnya dingin. Tanpa berkata apapun, Alvin berjalan keluar dari kamarnya. Ia mengacuhkan Sivia, adik kembarnya. Sivia sedih mendapat perlakuan seperti itu oleh sang kakak. Ini baru pertama kalinya ia diacuhkan oleh Alvin.

"Kak Alvin..." Ratap gadis kecil itu. Ia memandang punggung kakaknya yang semakin menjauh dengan nanar.

"Kak Alvin marah ya sama Sivia?! Kak Alvin nggak sayang lagi sama Sivia!" Teriaknya histeris. Ia menangis dan masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu kamarnya dengan keras, membuat sang ayah mendatanginya dengan cemas.

"Sivia, ada apa?" Tanya sang ayah memasuki kamarnya. Sivia tak menjawab, ia menyembunyikan wajahnya di balik bantal spongebobnya. Ayah mengusap pelan rambut hitamnya membuat Sivia segera bangun dari posisinya untuk memeluk ayah.

"Ayah, Kak Alvin jahat sama Sivia. Kakak nggak sayang lagi sama Sivia..." Katanya mengadu.

"Kakak jahat kenapa?" Tanya ayah lembut.

"Kakak nyuekin Sivia. Sivia kan nggak suka, Ayah. Sivia mau main basket lagi sama Kakak."

"Kakak sayang kok sama Sivia, mungkin Kak Alvin lagi capek. Oh ya, Sivia mau janji sama sama Ayah, kan?"

"Janji apa?"

"Sivia sayang Kakak, kan? Kalo Sivia sayang, Sivia harus jagain Kak Alvin ya?" Pinta sang ayah. Sivia memandang ayahnya bingung.

"Harusnya Kak Alvin dong, Yah, yang jagain Sivia." Kata Sivia cemberut. Ayah tersenyum –terpaksa.

"Suatu saat nanti pasti Sivia tahu, apa alasannya. Jangan ninggalin Kakak sendirian, ya?" Sivia mengangguk saja, meski ia tak paham dengan maksud sang ayah.

***

BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang