Babak Dua: Nama dia Joey Alexander

91 3 0
                                    

Sekolah sudah selesai tapi tidak untuk selamanya, hanya hari ini saja dan dengan menyadarinya saja sudah membuatku sangat sedih. Olivia dan aku berjalan bersama keluar dari ruang kelas sembari mengisi setiap langkah kami menuju pintu keluar gedung sekolah dengan obrolan ringan. Dia meramalkan bahwa hari-hariku selanjutnya di sekolah ini akan begitu luar biasa. Bagaimana tidak? keberadaanku yang baru seumur jagung saja sudah meroket dengan bebas menjadi menjadi siswi trending topic di ruang guru dan anak baru pertama yang benar-benar bisa menentang kelompok berpengaruh di sekolah. Ya, aku seorang Devonna Lawrance melakukan semua hal-hal luar biasa itu di hari pertamaku masuk sekolah.

Tetapi, tentu saja aku tidak akan membiarkan hal itu mempengaruhi akal sehatku-walau sebenarnya akal sehatku sudah mulai tergeser semenjak beberapa orang yang tak aku kenal menepuk pundakku dan bilang 'Hey, kau luar biasa girl!' dan rasanya juga tidak sopan jika aku tidak mengangguk balik dan menjawab: 'Aku tahu, aku memang luar biasa.'

Hey, menurutku sombong sesekali di hidupmu tidak akan begitu menyakitkan bukan?

"Devonna Lawrance?" Tanya seseorang lelaki tinggi bercamata dengan aksen India kental di nada bicaranya.

Aku dan Olivia bersamaan melihat lelaki itu. "Baiklah Dev, aku duluan. Ibuku sudah menunggu." Ucap Olivia yang berada di sebelahku.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Olivia segera berjalan menghampiri ibunya yang berdiri di samping mobil sedan model lama sembari merokok, riasannya tampak seperti remaja 80-an yang tidak rela memasuki masa tua mereka. Aku menarik nafas pendek dan menganggguk sambil melambaikan tangan. "Hati-hati." Lirihku, aku kemudian menoleh ke arah lelaki itu. "Ada sesuatu yang bisa aku bantu?"

"Sepertinya kau yang membutuhkan bantuanku." Jelasnya lalu mengeluarkan sebuah kunci dengan gantungan angka. Dia tersenyum. "Perkenalkan namaku Indra dan aku akan mengantarmu menuju dorm-mu. Mari ikut aku."

Aku mengangkat kedua alisku. "Okay, silahkan pimpin jalannya, Indra." Balasku lalu kami berdua berjalan melawan arus balik sekolah yang begitu ramai dan padat. Kami seperti ikan salmon yang menerjang arus hulu sungai hanya untuk melakukan reproduksi dan setelah itu mati. "Hei, apa namamu seperti Indra saja atau Indra Sang Dewa Indra?" Tanyaku yang kini berjalan di sebelahnya.

"Namaku diangkat dari Sang Dewa Indra." Jelasnya.

"Woah, pasti menarik mempunyai nama setara seorang Dewa." Balasku.

"Hm... aku pikir tidak. Kau harus bisa menjaga nama ini tetap bersih dan tak ternodai. Sebagai manusia biasa dan tak sempurna, aku masih berlatih melakukan itu." Tukas Indra.

"Kau tahu? aku tak percaya dengan orang suci di era seperti ini. Kita semua pasti pernah melakukan hal kotor dan berdosa tanpa kita sekalipun menyadarinya. Tetapi aku yakin kau bisa melakukan itu Indra." Balasku dengan senyuman. "Hey, kau anggota intra sekolah kan? Apa kau tahu kegiatan di daerah sini yang memghasilkan uang?"

"Apa kau sedang bercanda padaku?" Tanya dia sembari terkikih.

"Aku tidak pernah bermain-main jika berbicara tentang uang." Jelasku meniru logat mafia-mafia dalam film hollywood.

Indra tersenyum dan kemudian mengangguk. "Um... let's see. Aku tinggal cukup jauh dari sekolah, jadi tidak terlalu tahu tentang keadaan di sini. Hanya saja seingatku ada supermarket yang membutuhkan karyawan, letaknya di turunan jalan dan entahlah. Aku pikir kau bisa magang di sekolah. Terkadang jika kau membantu tukang cleaning service kau akan mendapat hadiah."

"Kau tahu Indra?" Tukasku. Kami kini sudah berada di pavilun depan dorm milikku. Indra memasukkan kunci ke dalam lubang pintu. "Aku mulai berpikir bahwa sekolah ini mempunyai banyak sekali uang yang bertebaran di manapun. Tetapi tak bisa memberikan makan siang yang bergizi dan baik untuk muridnya. Geez, setidaknya mereka harus memperbanyak tempat duduk kafetaria."

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang