Koibito

836 70 51
                                    

Menikah adalah nasib dan mencintai adalah takdir. Kita bisa menikah dengan siapa pun, tetapi kita tidak bisa menakdirkan cinta di hati.

Bukan percaya diri, tetapi gadis yang tengah duduk di pelataran pelaminan bersama pemuda berambut hitam gagak bernama Sasuke sebenarnya mencintaku. Hatinya adalah milikku, itu kenyataannya. Namun, takdir yang dituliskan ayahnya membuatnya menikah dengan laki-laki yang bukan aku.

Jika diibaratkan, aku hanya seekor merpati. Lelaki yang meratapi hati, karena mendapat cinta yang tak terobati. Tuhan hanya sebatas menakdirkanku untuk mencintai dirinya. Dia tidak mengizinkan diriku untuk memilikinya

Duduk di sudut ruangan hanya untuk dapat melihat keindahannya yang dahulu tubuhnya dapat kupeluk. Matanya, hidungnya, pipinya dan seluruh wajahnya yang bisa kusentuh. Namun kini, bisa memandangnya saja sudah sangat istimewa.

Aku berjalan menuju pelaminan. Seperti tamu pada umumnya, aku juga ingin menyalami dan mendoakan serta memberi restu pada mereka. Gaun indah Hinata-ku begitu serasi di badannya. Senyumnya sangat indah walau aku tahu itu adalah senyuman paksa.

Aku bisa melihat ketidaksukaan ayahnya ketika aku hampir menjangkau Hinata. Tatapannya sungguh tajam. Ketika sampai tepat di depan Hinata, aku mengulurkan tanganku. Memberinya ucapan selamat. Air matanya terus mengalir hingga rasanya dadaku sesak.

"Toneri" katanya lirih sekali.

Kuberikan senyuman untuknya. Aku tidak ingin lemah di depannya. "Berbahagialah, Hinata."

"Toneri juga, hiduplah dengan penuh tujuan dan raihlah segala yang diingini," katanya.

Aku menarik napas, "kebahagianmu adalah segalanya untukku. Kebahagiaanmu adalah hidup dan matiku."

Tatapan tajam bukan hanya dilayangkan Hyuuga Hiashi saja, tetapi juga Sasuke. Kurasa ia tidak terima bahwa istrinya yang manis ini dicintai berandalan sepertiku.

Pada saat aku berpindah kepada pria Uchiha itu, memberinya pelukan selamat, saat itu pula ia berkata, "Menjadi cinta pertama memanglah sangat indah, tetapi lebih indah jika mampu menjadi cinta terakhir dalam hidupnya."

Dalam keadaan masih dipeluk, aku tersenyum miring. Akan lebih baik jika Hinata dapat mencintai suaminya. Bukankah ia akan segera terbebas dari dua hal? Terbebas dari dosa dan terbebas dari rasa sakit karena mencintaiku.

*****

Tujuh tahun setelah hari berkabung bagi Ootsutsuki Toneri-ya aku menyebutnya begitu-aku menempati sebuah apartemen yang diwariskan padaku oleh seorang ibu yang mengasuhku dulu, namanya Kaguya, yang suaminya aku bunuh dan menyebabkan diriku direhabilitasi selama beberapa tahun. Saat keluar dari penjara, ayahku bahkan tidak ingin melihat wajahku. Ia berkata aku hanya bisa membuat masalah. Ketika seorang ayah saja tidak menghendaki anaknya, apalagi dunia. Dunia berlomba menyaksikan kejatuhanku. Dunia berkompetisi untuk membuatku semakin jatuh. Saat seperti itu, Hinata datang dan menghiburku. Aku selalu ingat kalimatnya sembilan tahun lalu, saat usiaku dua puluh satu dan dia sekitar sembilan belas.

Ketika seisi dunia menjatuhkanmu, percayalah masih ada Tuhan yang membangkitkanmu. Begitu katanya. Saat itu, selain aku memang terpesona akan kecantikannya dan mengagumi sikap lemah lembutnya, aku juga telah terjerat oleh kalimat bersahajanya.

Meski sudah bertahun, aku masih menempatkan dirinya di ruang khusus hatiku, yang selamanya takkan terganti. Cintaku padanya bukan seperti sekuntum mawar. Yang mekarnya tidak lama dan layu pun tiada artinya. Karena cintaku padanya akan mekar selamanya.

Mengenangnya membuatku semakin bertambah rindu. Rindu yang seperti sajak sederhana yang tidak ada matinya. Rindu yang tidak pernah ada obatnya kecuali pertemuan. Rindu memang tidak pernah enak, apalagi rindu yang bukan hak.

LEALTÀ D'AMORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang