Bertemu Adinata (2)

78 11 6
                                    

Seumpama saya memberanikan diri menyerobot sepuluh kursi menuju sebelah bangku tempat Adinata berada, mungkin rapat kerja Badan Eksekutif Mahasiswa yang awalnya menjemukan – bagi saya, akan beralih menjadi guyonan saya dengan Ata, beserta bumbu cuk-cuk-an khas Surabaya. Namun melihat sekitar, kiranya dua dari lima peserta forum mengetahui jika kami memiliki hubungan lebih dari sebuah pertemanan. Dan yang saya yakini lagi, tiga dari lima lainnya hanya mengetahui bahwa kami adalah duo yang acap kali mencemooh satu sama lain, cermat saya.

Adinata memang fokus pada urusan kader-mengadernya, dan saya yang sibuk membudak program kerja kementerian dalam negeri eksekutif mahasiswa. Dua minggu tak bersua, hanya sebatas menjajah sapa di seberang jalan raya rasa-rasanya sudah cukup bagi saya. Atau pernah sekali waktu, satu bulan kami tak pernah bertegur sapa.

Selain di depan saya, Adinata bukan orang yang sanggup mencitrakan dirinya bahwa ia adalah orang yang punya banyak acara, banyak tugas pula. Walhasil, tiap malam hobinya mengiyakan ajakan ngopi kawan-kawannya. Menariknya, saya juga sama seperti dia.

Tak kuasa mendekati, saya hanya menoleh ke tempat duduknya dengan hati-hati. Rautnya dibuat serius, dua alisnya tak bercelah. 'Oh, sedang mengerjakan tugas rupanya,' batin saya.

Saya tahu, Ata punya segudang pekerjaan di balik citra santai yang dia ciptakan. Saya masih yakin pula, bahwa pilihannya bukanlah suatu kesalahan. Yang berkurang adalah keyakinan bahwa eksistensi saya buat Adinata, apa masih dipertimbangkan?

"Ayo ngopi, Ta!"

Isi pesan daring saya untuk Ata ketika pimpinan forum mulai memanjatkan doa.

"Sambil nugas ya?"

Balasnya sambil mengangkat jempol setinggi-tingginya.

Di perjalanan saya membatin kesenangan. Tiga bulan rasanya kami tak pernah lagi berboncengan. Apalagi berkontempelasi hingga pagi, memikirkan kehidupan. Pada awal menjalin hubungan, saya dan Ata menyepakati aturan bahwa kami, tidak akan pernah menjadikan keterikatan sebagai beban. 'kalau cuman urusan makan, gak melulu harus sama kamu, kan' saya pun meladeni dengan 'kalau lebih suka nonton sama temen-temenmu, ya lakukan'.

"Maaf ya, aku lebih banyak meluangkan waktu cangkruk sama teman-teman, daripada... em... nganterin kamu pulang, misalnya"

Adinata untuk kesekian kalinya menjadi dia yang tidak ia tampilkan di depan teman-temannya.

"Tapi sumpah, aku banyak tugas, selepas cangkruk aku mesti begadang sampai pagi. Kalau aku telfon kamu pagi-pagi nanti kan gaenak juga," saya tertawa –dalam hati saja, siapa pula yang menuntut hal-hal demikian. Dan saya selalu suka mendengar keluhan Adinata yang tak pernah ia beberkan ketika bersama sejawatnya.

"Gapapa, emang kayak gini kan kita," titah saya santai.

"Kita nggak perlu bahas tentang prioritas lagi, kan?" Tanya Adinata dilanjutkan dengan omel keluh keshnya.

Kemudian, hingga dini hari saya mendampingi Adinata mengerjakan tugasnya, mendengarkan sambatannya, dan banyak kali menjadi korban ledekannya. Tanpa perlu pernyataan konfirmasi, saya kembali menaikkan keyakinan saya perihal eksistensi saya untuk orang sesibuk Adinata Bumantara.

"besok kita ngopi lagi ya"

"halah, paling sebulan lagi kamu bisanya"

"kamu yang gabisa, enak aja"

Saya dan Adinata (On Hold)Where stories live. Discover now