Anak-anak kata
berlarian ke dalam
jurang kematian.
Menerjunkan diri
bagai bom atom
yang siap meledakkan
satu negara.
Bersuara parau
membubuhi dinding-
dinding gua.
Merangkai jalan
yang tak mengenal
kata pulang.Anak-anak kata
kedinginan dalam
sehelai kertas usang;
termakan candu
omong kosong ;
ternoda tinta
yang dibubuhi derita;
terangkai tanya-tanya
yang tak sempat terjawab.Anak-anak kata
terus berlarian
menunggu surat balasan yang disisip
kecupan; bernuansa biru
yang berkubu dengan semesta;
membungkam kata
setelah adanya pamit
yang tertera dalam akhir alinea.Menelisik jejak waktu.
Meninggalkan bekas lara
yang menumpuk tanya;
Apa yang salah dari
mencintai dengan sederhana?
Apa yang salah dari
mencintai dengan seadanya?
Apa yang salah dari
mencintai tanpa berharap apa-apa?Kini anak-anak kata
terbujur kaku, berteriak kelu
setiap hari Rabu.
—wnpputri, 2018.
YOU ARE READING
Mencintaimu Seperti Menanti Ombak
PoetryBagaimana rasanya masih menjadi pemenang tunggal sebagai manusia yang kutulis diantara deretan kata?