1. Cita-Cita

476K 15.4K 161
                                    


1

Diandra

Aku melangkah penuh semangat, menyusuri koridor ruang praktik beberapa dokter spesialis. Sambil memeluk dua map, aku tersenyum dengan pikiran optimistis pada masa depan. Beberapa orang menyapaku saat berpapasan. Inilah salah satu hal yang kunikmati dalam hidup.

Setelah sampai di ruang Dokter Eko, senyumku makin mengembang. Saatnya bekerja, saatnya melakukan hal yang sangat kusuka.

lalu masuk. Setelah dipersilakan duduk, aku menyapa pria setengah baya itu sambil menyerahkan salah satu map yang kubawa, "Jadi, Dok, ini proposal talkshow bulanan yang rutin kami adakan. Untuk acara bulan depan, kebetulan Dokter diminta menjadi penyuluh saat talkshow. Tema bulan ini adalah pola hidup sehat bagi penderita diabetes. Acaranya pukul sembilan pada hari Minggu, tepat satu jam setelah senam pagi selesai."

Beberapa menit kemudian, Dokter Eko menyanggupi segala konsep dan permintaanku. Meski hanya talkshow, persiapan detail seluruh rangkaian acara hingga dekorasi harus selalu kumonitor untuk mencegah kegagalan.

Aku tersenyum lega sambil berjalan menyusuri lorong koridor rumah sakit untuk kembali ke ruanganku. Koordinasi seperti ini sangat kusukai. Apalagi jika dokter yang ditunjuk sangat kooperatif dan antusias.

Tak lama, aku sudah memasuki lift. Saat pintunya hendak tertutup, ada sebuah tangan yang menghentikannya. Mataku membeliak. Aku segera mengalihkan pandangan. Oh, tidak. Aku sangat tidak suka dengan orang ini, atasanku, sang komisaris utama. Apalagi kami hanya berdua di dalam lift.

Bulu kudukku meremang dan tanganku gemetar. Suhu tubuhku bahkan seperti berada di bawah normal. Napasku sesak, seakan-akan oksigen dalam lift ini hilang tak bersisa saat pintunya perlahan tertutup.

Aku ingin keluar. Aku ingin berlari sekencang mungkin agar tak harus menghirup aroma parfumnya yang membuatku pusing. Mataku berkunang-kunang, kepalaku terasa berat. Ya Tuhan, tolong aku agar tak harus berdua dengannya di tempat sempit ini.

Aku mendongak demi bisa berdiri tegap, tetapi pantulan tubuhnya pada dinding stainless berkaca itu membuat jantungku bermasalah. Rasanya aku ingin memejamkan mata dan mati saja.

seolah-olah siap menyergap dan membuatku luluh-lantak. Wajahnya tampak tenang dan biasa saja, tetapi aku merasakan aura dingin dan bahaya yang menguar dari setiap embusan napasnya.

"Lantai berapa?" tanyanya memecah keheningan.

Aku terlonjak sesaat dan bergerak kikuk. "Ti ... tiga," jawabku tanpa memandang wajahnya. Aku tak berani beradu tatap dengan bola mata tajam itu.

Aku memajukan jari untuk menekan tombol tiga. Namun, jari kami serempak menekan angka yang sama. Sentuhan itu membuatku tersentak. Tubuhku menegang, bereaksi seakan-akan harus melindungi diri dari sentuhan apa pun yang mungkin terjadi di antara kami.

"Sori," ucapnya santai. Mungkin ia menyadari ketidaknyamananku.

Aku menatap jariku yang baru saja bersentuhan dengannya. Keningku serta-merta berkeringat dan tanganku makin gemetar. Aku meremas satu map tersisa yang kubawa demi meredam ketakutan dan hasrat ingin menangis serta berteriak.

Aku terdiam, enggan menjawab atau sekadar berbasa-basi. Yang bisa kulakukan hanyalah menunduk dengan mata terpejam dan terus meremas map agar perasaan tak nyaman ini bisa kukendalikan. Aku mencoba bernapas normal, meski nyatanya embusan napasku sangat cepat dan pendek.

Untungnya, jarak lantai satu ke lantai tiga butuh waktu beberapa detik. Jadi, aku hanya perlu menahan diri selama sesaat. Iya, hanya sesaat, meski hal kecil ini harus kulakukan sekuat tenaga. Berdua bersamanya benar-benar mengganggu kestabilan mentalku.

Jar of Hearts ( Versi Terbit Diandra's Marriage )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang