Part 18

2.9K 117 3
                                    



Setelah puas melampiaskan emosi hatiku dengan menangis, aku jadi merasa lebih tenang. Aku menyeka peluhku yang meleleh di pipiku, kemudian masuk ke kamarku kembali, aku melihat Yudhi sudah terbaring di atas ranjang, dia sudah memjamkan matanya dan telah terlelap tidur. Mungkin, itu pengaruh dari obat yang aku berikan padanya, sehingga dia bisa tertidur dengan cepat.

Mataku masih memperhatikan dengan lebih teliti sekujur tubuh Yudhi, wajah tampannya masih nampak membengkak dan membiru, bibirnya yang biasanya merona nampak pucat dan ada sedikit luka di tepiannya seperti sariawan. Lehernya penuh tanda merah kehitaman, dadanya yang bidang juga terlihat ada sayatan yang bergaris-garis membentuk sebuah goresan luka yang menganga. Aku memalingkan pandanganku, karena tak kuasa lagi untuk melihat keadaannya yang sangat memiluhkan. Lagi-lagi aku menangis ... aku memang gampang terhanyut dengan suasana yang melankolis begini ... perasaanku yang lembut mudah terbawa pada empati hati yang tinggi.

Malam terus merayap, menghantarkan rahasia-rahasia kehidupan yang penuh misteri lewat hembusan anginya yang nakal dan genit menyentil-nyentil kulitku, hingga aku bergidik karena terserang hawa dinginnya yang mencekam menusuk tulang. Aku lelah dan tak mampu menghalau serbuan rasa kantuk yang telah menghinggapi kelopak mataku, rasanya seperti ada lem yang merekat kuat, ibarat bola lampu mungkin hanya tingggal 0,5 watt.

Hoammmm ... aku menguap, menggeliatkan tubuhku, lalu aku membaringkan tubuh letihku di samping Yudhi, dalam hitungan detik, aku pun terseret ke alam yang berbandrol mimpi. Good night and happy nice dream. Zzzzz ... zzzz ... zzzz.

***

kRIIINNNGGGG!!! ... KRIIINGGGG!!!

Jam becker-ku berdering tepat pukul 05.30.

Aku terperanjat dan bergegas bangun dari tempat tidurku, namun ada sesuatu yang membuatku jadi agak bingung, karena aku tidak mellihat tubuh Yudhi di kasur lagi.

''Yudhi ... Yud!'' Aku memanggil-manggil nama dia, tapi tak ada jawaban, aku mencari-cari keberadaan dia di setiap sudut ruangan, tapi aku tidak menemukannya.

''Wahyudi!'' seruku lagi tapi hanya sia-sia belaka, batang hidungnya telah menghilang, barang-barangnya juga sudah lenyap entah ke mana, dia pergi seperti ditelan bumi.

''Ya, Tuhan ... di mana kamu, Yud ... kamu lagi sakit dan penuh luka ... mengapa kamu pergi dari sini? Hiks ... hiks ... hiks ...'' Aku menangis terisak-isak.

Aku terus merontah-rontah, sedih sekali, karena tidak bisa membayangkan kondisi luka Yudhi yang begitu banyak di tubuhnya. Bagaimana mungkin dia pergi tanpa pamit. Aaaahhh ... kamu tega sekali membuatku cemas dan khawatir. Hhmmm ... mengapa aku jadi begini? Apakah aku benar-benar jatuh cinta padanya? Atau hanya rasa iba semata? Aaaahhh ... entahlah!

Aku mencoba menenangkan diriku, aku menghirup udara dalam-dalam dari hidungku, lalu membuangnya perlahan-lahan lewat mulutku, aku mengulangi sekali, dua kali, tiga kali hingga aku benar-benar bisa bersikap tenang kembali.

Dan saat aku tenang dan rileks begini, mataku melihat ada secarik kertas yang tergeletak di atas meja, kertas putih berukuran postcard itu ditindihi sebatang pulpen. Dengan cepat aku meraih kertas itu, lalu segera membaca tulisan yang terukir indah di kertas tersebut.

''Terima kasih, Tian ... atas semua yang telah kamu lakukan terhadapku. Kamu adalah orang yang paling baik yang pernah aku kenal ... maafkan aku karena sudah merepotkan kamu! Yudhie.''

Kembang LelakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang