[ Chapter 1 of 3 | Part 2 of 3 ] " Eternal Heartbeat / 영원한 심장 박동 "

664 13 0
                                        

# [ J ]  Jino’s POV

Sinar kemilau  sang surya dibalik tirai putih berenda. Dipinggir ranjang berbalut sprei putih polos aku teduduk sendu dan sepi. Bau obat yang pekat menyelubungi ruangan ini. Menyesakkan dada walau telah tak asing hidung membaui aroma ini. Sepanjang hidup tak pernah terlepas. Terikat dalam fisik yang seprti ini. Sungguh telah muak terpenjarakan dalam Rumah Putih ini. Kembali dan kembali lagi terkapar diranjang ini. Ya, ini lah rumahku. Aku dilahirkan di Rumah Sakit. Tumbuh pun dapat dikatakan disini. Bolak-balik dari dan ke Ruamh Sakit sebab penyakit sialan ini. Kemudian, kelak mati pun akan di Rumah Sakit. Rumah Sakit, Rumah Sakit, dan Rumah Sakit. Aku benci Rumah Sakit!

Sungguh muak. Mengapa Tuhan harus siksa aku dengan berumur sepanjang ini? Mengapa tak cabut nyawa ku ketika lahir? Mengapa tak ambil jiawa ku sebelum dilahirkan ke dunia yang memuakkan ini?  Mengapa begitu tega telantarkan aku merana sepi sendiri? Mengapa Tuhan begitu benci pada ku? Mengapa Tuhan begitu tak adil? Mengapa? Mengapa? Aku bersalah apa? Bukankah aku telah patuhi perintah-Mu? Bukankah aku telah hindari semua larang-Mu? Lalu, mengapa? Tuhan, sungguh tak adil.

Aku bertemu kawan sesama pasien yang sembuh dan pulang ke rumah mereka. Aku pun bertemu teman yang pada akhirnya mati dan berpulang pada-Mu. Lalu, aku. Aku akan Engkau biarkan ikuti jejak siapa kah? Mati atau hidup kah aku usai operasi itu? Tidak. Tidak. Tidak. Tak ada guna jalani operasi. Mungkin akan jauh lebih damai bathin ini jikalau Tuhan segera panggil aku untuk temani Nenek di syurga-Nya.

Muak aku sungguh telah jenuh. Ku paksa tubuh untuk duduk. Berhenti menatap jauh dan sendu keluar jendela walau langit biru begitu indah. Duduk. Sakit sekali ubun-ubun ku terasa. Kulirik jam dinding yang tergantung tepat di dinding depan ranjang ku. Pukul 14:00 waktu Korea Selatan. Kuhela napas pendek, sesak di dada. Aku terbatuk kecil. Nyeri jantungku berdetak. Perih hidungku menghirup oksigen yang bertebar di atmosfer. Bahkan untuk menelan ludah pun tenggorokan ku terasa sakit. Perih.

Sungguh, ini begitu menyiksa. Entah kapan kan usai penderitaan semacam ini. Kian hari kian buruk dan lebih buruk lalu sangat buruk hingga pada akhirnya aku mati. Mati. Mati. Mati. Rasanya lebih baik mati. Segeralah cabut nyawaku wahai Malaikat Kematian yang setia iringi tiap detak jantung ku yang kian lemah. Lemah dan lemah hingga detak terkahir. Kemudian, berhenti berdetak. Tutup usia. Aku mati. Akhirnya aku pun mati. Mati.

Selalu, selalu itu. Selalu persepsi ini melintas di benakku. Kuhela napas lebih panjang dan cukup dalam. Hembuskan kepahitan yang mecekam. Ku cabut selang infus yang dipasangakn para petugas medis itu di pergelangan tanganku. Kusibak selimut bernotif garis-garis horizontal biru-putih tersebut. Dudul aku di pinggir ranjang dengan kedua kaki menggantung. Kupaksa raga yang lemha untuk berdiri. Mengenakan sendal.

Mencoba melangkah.  Terhuyung aku melangkah dengan kepala amat berat. Ku coba kuatkan raga berjalan walau dengan langkah yang agak terseret menuju pintu ruang inap ku. Ku raih gagang besi itu. Tak ada perawat yang jaga kala itu. Mungkin mereka berpikir aku masih tergeletak pingsan tak ada daya di ranjang putih tersebut. Ya. Semenjak tadi pagi aku tak sadarkan diri. Aku enggan makan dan menolak minum obat. Semalam pun aku kembali terpuruk dalam kekecewaan yanag mengakar terhadap Tuhan yang tak kunjung kabulkan satu do’a ku.

Aku tersudut di bangunan baru itu seorang diri. Terduduk dengan kepala yang sengaja kubenamkan diantara kedua lutut. Bahuku bergetar meredam iska tangis. Aku bersembunyi dibalik pot bunga dengan bunga yang nyaris mati atau mungkin sekarang telah mati. Disudut paling kelam itu aku berdiam diri meratapi nasib. Dipojok paling mencekam dan belum terjamah itu aku merana sepi.

Mungkin aku tampak seperti sebuah penampakan roh kesepian bagi orang yang tak sengaja menemukan ku berada disana. Tapi, terserahlah. Aku tak peduli. Diam-diam menyelinap menuju halaman belakang Rumah Sakit tepatnya menuju rumah pohon ku yang terasing. Segenap tenaga yang kumiliki. Ya. Kadang aku berpikir untuk bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 3 bangunan baru itu. Melompat dari jendelanya yang lebar. Terjun bebas meraih Bumi. Kemudian terkapar bersimbah darah. Mati. Mati. Mati.  Namun, sesaat kemudian. Aku  merasa Nenek menjewer kuping ku. Aku pun urungkan niat itu. Namun, sungguh aku ingin mati! Tuhan, bawa aku pada-Mu. Jangan izinkan aku hidup lebih lama, Tuhan. Aku ingin mati. Ingin mati. Mati! 

[ FF Project ] " Eternal Heartbeat / 영원한 심장 박동 "Onde histórias criam vida. Descubra agora